KEDIRI | duta.co – Dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Harlah Korpri ke-52, digelar diskusi publik mengusung tema Pengoptimalan Peran Perempuan Dalam Demokrasi Serta Penguatan Perlindungan Perempuan Dalam Penegakan HAM, bertempat di Aula Rektorat IAIN Lantai 4, Selasa (10/12).
Sebagai narasumber adalah para srikandi, Susianah Affandy merupakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Pusat (KPAIP) dan Sa’idatul Umah menjabat Ketua Bawaslu Kabupaten Kediri, dipandu dua moderator Rizka Nur Izzati dan Ulfa Hidayatun Naja, ketua dan sekretaris Kopri PC PMII Kediri. Hadir dalam acara ini, para mahasiswi tergabung dalam PMII, HMI dan GMNI.
Diawali dengan pemotongan tumpeng setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars PMII, acara diskusi pun dimulai sekira pukul 19.00wib. Ketua Kopri menyampaikan meski harlah pada tanggal 25 november, namun baru bisa digelar hari ini. “Esensi harlah mengingat perjuangan Kopri sudah 52 tahun berdiri. Bahwa masih banyak perjuangan yang harus kita teruskan dari sahabat-sahabat yang sekarang mungkin sudah tidak lagi bisa berproses dalam ranah mahasiswa,” ucap Rizka Nur Izzati.
Ketua Bawaslu Kabupaten Kediri menyajikan secara runtut peran perempuan dalam demokrasi, diantaranya, harus menjadi pemilih cerdas dan rasional, menjadi pengawas yang cerdas, menjadi perempuan dengan menolak segala macam politik uang dan menjadi bagian dari penentu kebijakan sosio kultural.
Kemudian disebut sebagai pemilih yang cerdas, Sa’idatul Umah menyampaikan sebagai berikut :
- Memastikan dirinya terdaftar dalam DPT.
- Peduli terhadap masyarakat sekitarnya.
- Mencermati, memahami Visi, Misi dan Program Calon.
- Mengenali Riwayat Hidup Calon/ Partai Politik.
- Memastikan Pilihan.
- Memilih dengan benar sesuai aturan yang berlaku.
- Memonitor jalannya pemungutan dan penghitungan suara.
- Melaporkan bila terjadi pelanggaran.
“Bahwa perempuan sebagai pengawas Pemilu harus siap menjaga kode etik dan kode perilaku sebagai penyelenggara pemilu. Dengan bekerja secara profesional, independen dan tetap menjaga integitas,” ungkapnya
Materi dibawakan Susianah Affandy, cukup mendapat perhatian dari puluhan undangan yang hadir dan menyimak materi disampaikan terkait jelang Pilkada Serentak, dimana peran perempuan harus mengawal proses demokrasi.
“Tentang demokrasi, review dari pPlkada 2018 kemarin itu merupakan anti tesa dari teori elit. Dimana partai politik itu punya fungsi salah satunya adalah melakukan kaderisasi politik,” jelasnya. Bahwa terdapat 19 kabupaten / kota dalam Pilkada memiliki calon tunggal, merupakan bukti tidak berjalannya kaderisasi partai. Kedua munculnya generasi millennial sebagai calon yang terpilih.
“Bahwa di Indonesia itu ada 21 generasi millennial memimpin daerah, mulai dari usianya 25 tahun. Artinya generasi milenial tidak melalui sebuah proses kaderisasi politik di partai politik, inilah yang kemudian dulu dikritik oleh Plato bahwa demokrasi itu pada akhirnya nanti akan melahirkan orang-orang dungu yang memimpin atas dasar dukungan mayoritas,” terang Susianah Affandy. Kemudian ketiga, dalam pelaksanaan Pilkada itu dari 19 calon gubernur dalam Pilkada langsung, hanya 9 calon yang merupakan kader partai.
“Artinya yang lain bukan kader partai sementara kadernya sendiri tidak laku. Untuk itu, jangan bicara soal perempuan, karena kedudukannya sudah dikesampingkan di dalam makna demokrasi itu, makanya perempuan harus aktif terlibat di dalam proses demokrasi agar kualitasnya meningkat melalui pendidikan, sosialisasi dan keterlibatan langsung dalam pengawasan,” terangnya. Diskusi ini pun terasa mengalir dan memiliki banyak manfaat bagi kaum perempuan untuk dijadikan bekal dalam berorganisasi. (rci/nng)