Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI) Dr H M Hidayat Nur Wahid, MA.

JAKARTA | duta.co –  Masih ingat maneuver seorang warga Mapia Tengah, Dogiyai, Papua, Ramos Petage yang mengajukan judicial review UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK)? Ramos beralasan UU Perkawinan menyebabkannya gagalnya ia menikahi wanita muslim.

“Pemohon adalah warga negara perseorangan, pemeluk agama Katolik, hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita beragama Islam. Akan tetapi setelah menjalin hubungan selama 3 tahun, hendak melangsungkan perkawinan, haruslah batal karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda,” demikan Ramos Petage dalam gugatan yang dilansir website MK, Senin (7/2/2022).

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr H M Hidayat Nur Wahid, MA, mengingatkan, bahwa MK untuk hadirkan kenegarawanan dengan kembali menolak uji materi UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah UU No. 16 Tahun 2019 terkait dengan pernikahan beda agama, dan tidak menjustifikasi pelanggaran terhadap prinsip toleransi dan pelanggaran hukum dengan mengabulkan pernikahan yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan konstitusi.

“Aturan UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, ini sudah sesuai dengan aturan konstitusi, prinsip HAM dan Toleransi antarUmmat beragama,” katanya.

”Jadi sudah selayaknya bila MK menolak uji materi tersebut. Apalagi  MK telah menolak permohonan sejenis pada tahun 2015. Dan sejak saat itu hingga hari ini, tidak ada hal baru yang mengubah ketentuan UU dan Agama (Islam) dan mengubah ketentuan larangan pernikahan laki-laki non Muslim dengan Perempuan Muslimah,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (11/2/22).

HNW, sapaan akrabnya, mengatakan, bahwa, pasca amandemen UUD NRI 1945 pada 2002 lalu, UUD NRI 1945 telah secara paripurna mengatur relasi antara hak asasi manusia (HAM) dan ajaran agama di masyarakat Indonesia yang relijius.

Selain dari ketentuan prinsip pada pasal 29 ayat 2, melaksanakan ajaran Agama termasuk pernikahan yang sah, diakui sebagai HAM yang dilindungi (pasal 28 B ayat 1 dan pasal 28 E ayat 1). “ Tetapi pasal-pasal itu tidak berdiri sendiri, bahkan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia di UUD NRI 1945 sekalipun, karena pasal-pasal soal HAM itu ditutup dengan pembatasan yang termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) yang menyatakan, bahwa, salah satu pertimbangan pelaksanaan HAM adalah UU dan nilai-nilai agama,” urainya.

Masih menurut HNW, Secara lengkap, Pasal 28J ayat (2) menyatakan ‘Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud, semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis’.

Ia menambahkan, oleh karena itu, seseorang tidak bisa berdalih terhadap hak asasi manusia terkait dengan nikah beda agama, karena ide tersebut bertentangan dengan UU dan nilai-nilai agama – terutama Islam – yang hidup di masyarakat.

“Memaksakan pernikahan yang tidak sesuai dengan UU dan ajaran agama (dalam hal ini Islam) adalah bentuk intoleransi terhadap Umat Islam yang mempunyai sikap sesuai ajaran Agamanya, yang dibenarkan oleh UU seperti UU tentang Perkawinan. Maka di tengah menguatnya ajakan untuk toleransi, dan pentingnya taat konstitusi, penting juga agar MK tidak melegilimasi hal yang tidak sesuai dengan UUD NRI 1945 ini, apalagi yang bisa menjadi dalih pembenaean intoleransi,” tukasnya.

Apalagi, tegasnya, berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan melalui Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Pasal 40 dan Pasal 44 KHI secara tegas melarang dilangsungkannya pernikahan beda agama. “Ini seharusnya bisa juga menjadi pertimbangan hakim MK dalam memahami nilai-nilai agama, terutama Islam, sebagaimana disebut Pasal 28J ayat (2),” tegas Anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan agama ini.

“Jadi, untuk menjaga toleransi, komitmen pada taat konstitusi, sudah selayaknya bila MK mempertimbangkan juga sikap MUI yang menolak uji materi terhadap UU Perkawinan tersebut. Dengan demikian MK konsisten dengan keputusan sebelumnya (tahun 2015) tetap menolak permohonan uji materi tersebut, dengan mengembalikan persoalan terkait aspek HAM dalam pernikahan beda agama itu dengan merujuk nilai-nilai agama sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945,” terangnya.

Dan, tegasnya, dalam Agama Islam nikah Laki-laki non muslim dengan Wanita Muslimah, jelas tidak diperbolehkan. “Hendaknya semua pihak memahami hal ini, untuk menguatkan sikap toleransi antarumat beragama juga,” pungkas Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry