Dr Moh Mukhrojin SPdI, SH, MSi

“Catatan singkat ini, tidak membahas tentang seberapa besar ancaman mereka terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi, sekedar membuka ‘lorong sempit’ mengapa anak-anak muda kita mudah menjadi radikal.”

Oleh Dr Moh Mukhrojin SPdI, SH, MSi

BICARA anak muda, saya selalu teringat lagu Bang Haji Rhoma Irama, ‘Darah Muda’, Darahnya jelas, selalu merasa gagah, tak pernah mau mengalah. Begitulah lirik lagu itu menggambarkan watak anak muda. Mereka bagaikan singa kelaparan, ingin menerkam siapa saja, yang dianggap mangsanya.

Jadi, pemuda, memang harus mempunyai  jiwa idealis, praktis, berani ‘anarkis’ bila keadilan terkikis. Jiwa pejuangnya gampang terbakar untuk melawan kebobrokan, penindasan pada tataran lokal, nasional maupun global.

Sadar atau tidak, barangkali, bangsa ini juga akan kesulitan lepas dari cengkeraman penjajah, andai darah anak-anak muda pada saat itu ‘klentam-klentem’, loyo, tidak seperti yang digambarkan Bang Haji Rhoma.

Artinya, kalau ada anak muda radikal, itu lumrah. Tinggal kita melihat, ke mana radikalisme itu, diarahkan. Apakah untuk hal-hal yang positif atau negatif.

Pun termasuk radikalisme yang mengarah pada terorisme, kita harus berani melihat lebih dalam. Mengapa? Benarkah ini karena doktrin agama yang salah? Atau sebuah protes keras terhadap ketidakadilan?

Saya pernah mengikuti pelatihan Penyuluh Anti Radikal Angkatan IV yang menghadirkan para remaja mantan anggota ISIS di Syiria.

Luar biasa! Kita bisa terbelalak menyaksikan pengakuan mereka. Rekaman ini perlu diulang-ulang, didengar kembali, agar kita tidak keliru melihat akar radikalisme yang mengarah kepada terorisme.

Jelas sekali! Rata rata mereka datang ke Syria, mengaku, karena tidak rela melihat sesama umat muslim dibantai. Lalu, mereka ingin membantunya. Mereka juga menilai pemerintah Indonesia kurang pro-aktif membelanya. Ini membuat  darah mudanya bergelora sehingga ingin melawan sendiri, sekaligus ‘menampar’ pemerintah.

Kita juga bisa melihat sendiri aksi penyerangan Mabes Polri (Rabu 31/3/2021). Kita berterima kasih kepada netizen yang menviralkan rekaman CCTV sehingga kita tahu, seperti apa (aksi) perempuan yang disebut teroris itu.

Sayangnya, kita tidak mendapatkan pengakuan pelaku: Mengapa wanita itu nekat masuk basis keamanan Mabes Polri? Ini karena dia keburu tewas di tempat. Andai saja dia masih bisa berbicara, tentu, sangat menarik, setidaknya akan tergambar apa yang menjadi alasan ‘kemarahan’-nya.

Catatan singkat ini, tidak membahas tentang seberapa besar ancaman mereka terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi, sekedar membuka ‘lorong sempit’ mengapa anak-anak muda kita mudah menjadi radikal.

Di samping ‘darah muda’ sebagaimana lagu Bang Haji, anak-anak kita sekarang hidup di era digitalisasi, di mana peran media sosial begitu kuat. Ini sangat mempengaruhi pola pikir mereka. Kalau sekedar radikal dalam kebaikan, no problem, tetapi radikalisme terorisme, ini sangat berbahaya.

Nah, ketika mereka ‘menyentuh’ wilayah agama, maka, pemahaman atau keyakinan itu sangat mendominasi prilakunya. Di era modern seperti ini, anak-anak kita banyak ‘dibimbing’ medsos ketimbang guru yang memiliki pemahaman utuh. Apalagi, sekarang, semua masalah diminta brosing, tanya google. Bukankah begitu? Inilah problem kita.

Guru-guru tanpa sanad (ilmu) yang sampai kepada kanjeng Rasulullah, ini jelas mewarnai gerakan radikal kaum milenial. Belajar melalui channel internet, misalnya, tanpa adanya guru yang membimbing, jelas menjadi rentetan terjadinya kaum radikal.

Menurut mantan kombatan ISIS, ada dua hal, mengapa mereka menjadi radikal. Yaitu, Salah Paham atau Paham yang Salah.

Salah paham ini terjadi karena materi yang diterima kalangan milenial tanpa pemahaman yang benar sesuai ahlinya. Mereka menelan mentah-mentah informasi yang mereka terima, ditambah kurangnya sosialisasi di dunia nyata, ini membuat kesalahanya menjadi-jadi dan menjadi radikal pemahaman dan tindakanya.

Aspek paham yang salah, pun bisa terjadi jika memang kaum milenial ini mempunyai teman atau kenalan yang berpaham radikal. Mereka bisa larut, termasuk larut melawan NKRI yang mereka sebut sebagai toghut. Sehingga, apa pun Materi Pelajaran, ini semua dikaitkan dengan penolakan terhadap NKRI. Baik itu terkait aqidah, syariah maupun akhlaq.

Jadi, bibit radikal itu tidak hanya ada dalam Islam saja, namun semua agama, ada. Tinggal siapa yang membawanya. Dan kebanyakan radikalisme muncul dari kelompok yang paling besar. Karena di Indonesia mayoritas muslim, maka, potensinya ada di Islam. Di India potensi radikal ada di Hindu dan lain sebagainya.

Nah! Yang perlu digarisbawahi, bahwa, bibit radikal itu bukan ajaran Islam, tetapi lebih karena Salah Paham atau Paham yang Salah. Inilah yang kemudian dijustifikasi oleh ketidakadilan yang nyata. Sederhana bukan? Waallahu’alam. (*)

*Dr Moh Mukhrojin SPdI, SH, MSi, adalah dosen Pendidikan Agama Islam di Untag Surabaya

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry