Ketua Pergerakan Penganut Khittah Nahdliyyah (PPKN), H Tjetjep Mohammad Yasien, SH, MH (ft.duta.co)

SURABAYA | duta.co – Ketua Pergerakan Penganut Khittah Nahdliyyah (PPKN), H Tjetjep Mohammad Yasien, SH, MH mengaku heran membaca berita ada yang melaporkan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia H AA LaNyalla Mahmud Mattalitti ke Badan Kehormatan. Apalagi, alasannya, karena selaku Ketua DPD RI,  LaNyalla dinilai melakukan tindakan intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan melalui media sosial resmi DPD RI.

“Padahal, apa yang dilakukan DPD RI, menggugat ambang batas (20%) bagi calon presiden, adalah sah menurut hukum. Pun penggunaan situs resmi DPD RI, adalah tepat. Kalau kita mau sedikit ‘buka mata’, (ambang batas) inilah sumber petaka bangsa,” demikian Gus Yasien panggilan akrab H Tjetjep Mohammad Yasien kepada duta.co, Kamis (28/7/22).

Seperti berita memoonline.co.id, Ketua DPD RI, H AA LaNyalla Mahmud Mattalitti resmi dilaporkan ke Badan Kehormatan DPD RI, Jumat, 22 Juli 2022. Pelapornya adalah Oktoriusman Halawa dan Eliadi Hulu. Dugaannya Ketua DPD RI telah melanggar kode etik berupa tindakan intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai Lembaga Peradilan dan tindakan pemanfaatan akun resmi media sosial DPD RI untuk kepentingan pribadi.

“Bahwa sebagai contoh, pada tanggal 15 Juni 2022, akun resmi media sosial DPD RI yaitu Instagram telah membagikan konten yang berjudul “Jika Gugatan Presidential Threshold DPD RI Ditolak, KPI Sebut MK Lecehkan Lembaga Negara dan Rakyat,” demikian Oktoriusman Halawa dalam kabar memoonline.co.id, Rabu, (27/7/2022).

Kekhawatiran Gus Yasien, langkah Oktoriusman Halawa mau pun Eliadi Hulu, jangan-jangan atas dorongan pihak ketiga. Karena yang mereka persoalkan adalah konten ‘Jika Gugatan Presidential Threshold DPD RI Ditolak, KPI Sebut MK Lecehkan Lembaga Negara dan Rakyat’ di akun resmi Medsos DPD RI.

“Ini bukan masalah ecek-ecek. Ini masalah serius, terkait kebijakan ambang batas (presidential threshold) yang (ujungnya) sangat menyengsarakan rakyat. Mengapa? Karena dengan batasan 20% presidential threshold itu, rakyat harus menerima presiden buatan oligarki. Sekarang, fakatnya seperti itu, negeri ini disetir oligarki, segelintir orang yang menguasa kekayaan Indonesia,” tegasnya.

Jadi? Apa yang dilakukan Ketua DPD RI, H AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, adalah untuk menyelamatkan masa depan Indonesia, mengamankan masa depan rakyat. “Ketika politisi Senayan sudah tidak memiliki kemampuan, maka, harapan kita hanya pada sosok LaNyalla. Kalau dia dilaporkan ke BK, maka, hari ini, saya membuat surat ke BK, mengucapkan terima kasih atas kerja keras Ketua DPD RI yang gigih memperbaiki konstitusi negeri ini,” tegasnya.

Menurut pengacara senior Surabaya tersebut, mestinya, rakyat menagih janji DPR RI, menagih janji Presiden RI yang telah muluk-muluk mau memperbaiki kondisi ekonomi, hukum dan politik. “Tetapi, semua janji tidak terpenuhi. Mengapa? Karena konstitusi kita diacak-acak sedemikian rupa. UUD 1945 bukan sekedar diamandemen, tetapi diganti. Rakyat tidak paham, bahwa, oligarki sedang pesta pora di atas penderitaan kita. Maka, rakyat harus bangkit. Kalau kita diam, terus menunggu siapa? Kalau tidak sekarang, mau nunggu kapan?,” tanyanya.

Sekarang, lanjutnya, seluruh simpul masyarakat harus sadar, bahwa, kehancuran seluruh sektor kehidupan ini, lantaran rapuhnya konstitusi. “Ingat warning Ketua MPR Bambang Soesatyo. Bahwa kalau kita mau jujur, ini sudah bukan rahasia, kita semua tahu. Untuk menguasai partai politik, kata Bamsoet, seorang pemodal cukup merogoh kantong tak lebih dari Rp 1 triliun! Artinya, kalau jumlah parpol  ada 9, maka, hanya butuh modal Rp 9 triliun untuk kuasai Indonesia. Gila bukan?,” tegasnya.

Sementara, Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya menjadi garda tarakhir urusan konstitusi, juga sudah memble. Ada 30 lebih gugatan terhadap PT 20%, tetapi, ditolak MK. Segala keanehan ini tetap ingin dipertahankan MK.

“Istilah Bang Yusril menarik: MK bukan lagi “the guardian of the constitution” penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi “the guardian of oligarchy” (penjaga oligarki). Ini adalah sebuah tragedi dalam sejarah konstitusi dan perjalanan politik bangsa kita. Apa kita masih diam?” pungkasnya mengutip tulisan Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum Tata Negara. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry