Oleh: Abdul Wahid*

SECARA konstitusionlitas, negeri ini menganut sistem demokrasi, di mana rakyatlah yang berkuasa, yang kemudian kekuasannya direpresentasikan ke pihak-pihak yang mendapatkan amanat berstigma pemangku kekuasaa. Mereka ini mendapatkan kepercayaan untuk mewujudkan, bahwa di semua sektor kehidupan bernegara ini, yang berkedaulatan adalah rakyat.

Meski sekarang negeri  ini sedang dieksaminasi oleh pandemi Covid-19, tetapi konstitusionalitas rakyat sebagai pemegang kedaulatan tidak tegoyahkan, sehingga idealitasnya, segala kebijakan negara (pemerintah) yang bertajuk pengelolaan terhadap kehidupan rakyat, dari golongan apapun rakyat ini, termasuk petani, haruslah “bernyawakan” demokrasi.

Sayangnya, belum semua pemangku kekuasaan mampu menjalankan amanat dalam menegakkan demokrasi sebagai milik semua rakyat (democratic for all). Di era pandemic Covid-19 yang membawa dampak serius pada kaum tani ini, kurang “istimewa” dibaca dan ditangani negara.

Petani,dirundung duka tak kenal titik nadir,

Acuh dalam buaian janji-janji basi, diam ditumbalkan rentenir berdasi,

Sabar meski tanahnya disulap jadi lahan judi dan Prostitusi

Ikhlas keringatnya basuh najis pertiwi

Tak kuasa menolak dijagal rezim tak bernurani

(Muhammad Fadlurrahman, “Darah Petani”, 2015)

Sajak tersebut identik melukiskan tentang derita petani negeri ini yang tidak kenal kata akhir dari dulu hingga sekarang. Mereka terus menerus mengisi sejarah orang-orang kalah akibat dilindas atau “dianaktirikan” oleh kekuatan kaum berdasi yang kehilangan nurani kemanusiaannya.

Cerita petani gagal panen akibat tambaknya dibanjiri limbah industri atau kealpaan korporasi, dijadikan ajang pesta pora tikus yang lama kelaparan. Mereka juga mampu beli pupuk yang harganya terbilang sangat tinggi,sementara di sisi lain mereka dihadapkan dengan kebutuhan “istimewa” yang harus ditangani, seperti pembayaran listrik dan kebutuhan lainnya yang “mencekik.

Atmosfir itu menjadi kian tragis dan tragis ketika hasil panen yang sudah ditunggu sekian lama dan melalui perjuangan yang berat, ternyata hanya dihargai oleh “pihak-pihak tertentu” dengan “murah” sekali. Kasus pembelian gabah murah oleh pihak berwenang atau lainnya masih menjadi cerita lama. Mereka  menjadi sampel dari korban “tangan-tangan gaib” dari mafia perberasan.

(Kaum tani) sudah berkali-kali mendapatkan pujian dari pemerintah atau selebriti politik, bahwa peran-perannya sangatlah fundamental di negara agraris ini. Karakter bangsa agraris ditentukan lewat kesungguhan dan kepiawaian petani dalam memainkan perannya di sawah atau kebon. Di area ini, petani dipuji sebagai pilar keberlanjutan kehidupan bangsa yang mengandalkan kekuatannya dari sector pertanian.

Dalam pujian itu tersirat suatu stigma, bahwa petani adalah jiwa negeri ini. Negeri ini akan kehilangan jiwanya, jika petani tidak atau gagal menunjukkan peran sucinya sebagai kaum agraris. Sawah dan kebon tak akan berbuah misalnya, jika tanpa ada petani yang bersedia dan bersungguh-sungguh mengolahnya. Sawah dan kebon hanya akan menjadi aksesoris negeri agraris jika kaum tani menolak atau memboikot untuk menggarapknya.

Sayangnya, pujian terhadap kaum tani itu sekedar mengisi rongga dan dahaga komunitas politisi dan pejabat. Pujian untuk petani tidak ubahnya nyanyian merdu yang nikmatnya sebentar, namun setelah itu hilang sama sekali akibat seseorang atau sekelompok orang yang “menasbihkanya” atau memujinya ternyata berbalik arah secara drastis dengan  cara menumbalkannya.

Layak jika sebenarnya julukan eksploitasi modern ditujukan dan sedang menimpa kaum tani, karena mereka benar-benar sedang dituntut mengerahkan segala kemampuannya untuk menjadikan lahan di negeri ini berpengehasilan dan mengeluarkan emas (beras) secara berkelanjutan, akan tetapi apa yang sudah diperbuat oleh kaum tani ini ternyata tidak dihargai dan bahkan dikorbankannya.

Eksploitasi modern itu kentara sekali dalam kasus masih maraknya kebijakan impor bahan pangan ataa produk asing yang menjadi kebutuhan yang faktanya di dalam anegeri masih mengksplosi pasar modern hingga tradisional. Artinya, pemerintah dan kaum pemilik modal besar yang biasanya “bereksperimen” memainkan uangnya untuk berbisnis secara instan dengan berdalih menyelamatkan kebutuhan pangan rakyat telah menelorkan keputusan yang memaksa rakyat harus mengalah atau menerima menjadi masyarakat tidak berdaya (community of empowerless).

 Di satu sisi pemerintah berdalih bahwa impor yang dilakukan tersebut didasarkan pertimbangan di lapangan yang menunjukkan kondisi kebutuhan pangan rakyat sedang di posisi gawat dan “darurat”, sehingga perlu opsi mendatangkan banyak produk dari negara tetangga, sementara di sisi lain, dalih pemerintah ini dinilai  tergesa-gesa dan tidak berdasar bukti konkrit, karena kaum tani di negeri ini masih mampu menyediakan beras dalam jumlah memadai untuk memenuhi cadangan pangan.

Dalam kasus tersebut, pemerintah telah memposisikan dirinya layaknya “pengusaha”, sementara kaum tani yang hasil panennya sudah berbiaya tinggi dikondisikan secara represip supaya dijual kepada “pengusaha” yang harga jualnya dikalkulasi oleh “pengusaha” dengan standar minimalis sesuai dengan  harga barang hasil impor.

Peran pemerintah seperti itu tidak ubahnya telah menempatkan kaum tani sebagai tumbal keserakahan atau “kepiawaian” komunitas elit ekonomi yang mencoba mengail keuntungan sebesar-besarnya. Mereka mencari keuntungan dengan cara meminggirkan hak-hak kaum tani, padahal hak-hak ini potensial mampu menjaga kelangsungan hidupnya dan bahkan barangkali kesejahteraannya.

Produk bahan pangan seperti beras bagi kaum tani merupakan sumber utama penghidupannya. Ketika sumber utama ini tidak lagi mampu menyangga kehidupannya, maka niscaya penderitaan yang dialaminya pun berlapis-lapis. Ketika kaum tani dibuai oleh janji-jaji pemimpin negeri ini lewat politik penyejahteraan, mereka benar-benar mempercayainya. Sayangnya, kepercayaan ini kembali “sah” untuk diingkari oleh “kaum berdasi”.

Mereka itu bukannya diayomi dan dimediasi hak-haknya yang selama ini sudah dikorbannya, tetapi terus berlanjut dikorbannya. Mereka sudah menanam atau “berkinerja” di ladang dengan susah payah. Sayangnya ketika mimpi untuk menuai sedikit hasilnya sudah di pelupuk mata, mereka justru “dibantainya”.

Bagi kaum tani, yang memang tidak punya kekuatan ekonomi untuk mengongkosi demontsrasi dan lobi politik tingkat tinggi, barangkali yang bisa dilakukan adalah mengetuk atau menggugat nurani komunitas elit yang pernah berjanji kepadanya supaya hatinya terbuka, pikirannya kembali bening, dan langkah politiknya tidak berlanjut menghalalkan ketertindasan dan keterpurukan kaum tani.

*Penulis adalah Pengajar Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN dan penulis sejumlah buku Hukum dan Agama.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry