Oleh: Suparto Wijoyo*
MENGENAI dasar negara dan tanah bertinggal adalah esensial. Kata Cak Mispon mengikuti tradisi lisan sadumuk bathuk, senyari bumi, akan mempertaruhkan ruhani. Cak Mispon pun selalu wanti-wanti agar para petinggi berhati-hati pada setiap seruan rakyat agar suara itu tidak sampai menjadi sorakan yang menggelombangkan raga. Dewan sepertinya harus diteriaki dan disoraki untuk mengambil sikap membuang RUU HIP, tidak cukup dengan seruan karena ini menyangkut ideologi negara. Tidak elok apabila institusi negara menyuguhkan episode yang dramatik dan sangat telenovelis untuk diikuti, karena mengoyak khalayak. Selama ini Dewan memiliki daya kreasi yang sangat fantastis dan “mendesahkan tarik nafas” publik luar biasa: menjengkelkan sekaligus menghibur. Sementara RUU HIP menggelinjangkan pandangan yang menukik ke dalam akar kesepakatan teragung bangsa. Pemerasan Pancasila 1 Juni 1945 itu tidak menjadi kesepakatan, itu pidato penyampaian pandangan sebagaimana pidato-pidato anggota BPUPKI lainnya. Bacalah secara utuh risalah-risalah BPUPKI agar tidak salah paham.
Salah paham dan paham yang selah kerap terjadi di dunia saat ini. Semua bersumber dari niat untuk berdusta dan ingin membangun masa depan sebagai milik para pembohong. Dalam skala global bagaimana negara Israel mislanya harus merebut tanah Palestina. Kini negara Palestina seperti yang sedang kontrak di tanah Israel. Sebangun dengan ragam masalah demikian ingatlah saja pernyataan Presiden USA, sang papa tua Donald Trump mengenai pengakuan sepihak atas pengibukotaan Jerusalem untuk Israel. Ingat demo penolakan RUU HIP ini juga membawa imaji Cak Mispon ke Aksi atas nama sumbangan untuk Palestina yang dihelat semarak sebagai bukti adanya “riak-riak” yang akan menjadi gelombang besar dunia. Anak-anak muslim bergerak dan umat Islam Indonesia tidak mau ketinggalan. Anan saya sendiri datang ke kantor-kantor tempat penampungan donasi untuk perjuangan Palestina.
Spektakuler. Itulah kata yang saya hantarkan untuk persekutuan jiwa warga yang terpanggil demo nolak RUU HIP dan anak-anak yang berdonaso buat Palestina. Barisan yang rapi, kesopanan yang terukur, lokasi yang terjaga kebersihannya, sekaligus ongkos yang sangat mandiri. Inilah bukti kemampuan umat mengorganisir dirinya yang tidak tertandingi oleh kelompok manapun yang selama ini berunjuk rasa dengan “angkat tema politik” yang tampil penuh sahwat memperebutkan nasi bungkus, nasi kotak, dan sampah berserakan, serta taman yang diperinjakkan. Umat dalam menjaga askinya memukaukan penilaian. MUI, NU, Muhammadiyah juga telah menjadi pemandu dengan menunjukkan perannya untuk membela kebenaran, baik secara nasional maupun global.
Dalam diskusi kecil dengan para pelaku aksi yang selama ini acap kali hadir di “gerakan massa”, saya menaruh rasa terima kasih atas segala ikhtiarnya dalam mengingatkan dunia. Soal RUU HIP atau pencaplokan terhadap tanah Palestina hanyalah mengekpresikan keputusan yang telah tersimpan diam-diam di wilayah “historis peradaban manusia”. Semua ada sejarahnya dan pidato-pidato di BPUPKI-PPKI atau lain-lain lembaga kekuasaan yang membawa nama institusi resmi tampak harus didokumentasi untuk dipelajari oleh semua kalangan. Dalam lingkup ini rakyat membaca dengan hati, bahwa ada yang masih perlu ditegaskan: Tolak RUU HIP dan pendudukan Palestina karena itu bertentangan dengan hak kemerdekaan segenap bangsa di dunia sehaluan Pembukaan UUD 1945.
Setiap jiwa yang merasa sangat NKRI harus “menyemut” memenuhi panggilan kodratnya agar solider dengan sesama warga negara yang punya Pancasila hasil kesepakatan 18 Agustus 1945, maupun mengenai nestapa apa yang terjadi di bumi Palestina. Dalam lingkup ini, gempita aksi terus dibaca dan pimpinan ormas yang merasa “super” dan terbidik menjadi “jubir” yang sangat aktif, itu salut. Selorohpun muncul: memangnya publik yang turut menyemarakkan pergerakan ini mendengar suaranya yang terus lirih dalam keperihan hati umat, tetapi teriak lantang dalam barisan kuasa tanpa mampu menjadi penyeimbang yang adil. Niat memulihkan Pancasila model 1 Juni 1945 adalah terpotret terencana. Ini sejatinya suatu tamparan keras yang mestinya para pimpinan segara mengambil langkah “kemaslahatan” terhadap pucuk pimpinan yang tampil seperti sedang “berteriak di padang oasa imajiner”: tanpa moyangku tiada negara.
Semua problema itu sepertinya hadir melengkapi mencuatnya “parade” teriakan sayalah yang paling ber-NKRI. Langkah politik hukum musti ditempuh dan kabar sebelah ruang sidang inisiatornya juga berujar tentang situasi tidak boleh tinggal glanggang colong playu alias kabur. Kebetulan yang “dikristalisasi” dari onggokan berkas itu berasal dari partai yang sedang memanggungkan kuasanya. Hal itu semakin lemgkap dengan “dukungan” yang sangat “vulgar” dari visi-misi parpol yang ramai di jagat maya yang hendak “membuka pintu lebar melanjutkan” ajaran leluhurnya. Kemudian, titik-titiknya disambung melalui kerjasama anggota Dewan yang telah “menghaki” kosakata “gotong royong” adalah segalanya.
Soal dasar negara Pancasila yang sudah final itu maupun tanah warga Palestina yang melibatkan gerakan politik transnasional, menjadikan orang berpikir dan memunculkan persaksian bahwa kondisi dalam negeri tidak imun terhadap situasi kolektif subjeknya. Inti Pancasila ternyata hendak dikorek-korek melalui RUU HIP. Stop RUU HIP, kalau tidak kata Cak Mispon itu akan seperti kisah pendudukan Israel atas tanah Palestina. Ada yang melakukan pendudukan ideologi Pancasila hingga Pancasila akan diperas-peras sehingga yang lain akan disingkirkan. Inilah titik di mana hukum dalam kosmologi kekuasaan ternyata bukanlah akhir dari kisah dugaan kejahatan terhadap dasar negara. Pada lingkup ini langit-langit negara selalu menorehkan berita yang membuat jutaan rakyat memasuki etape sorakan massa “setimpal” dari cara menangani Covid-19 yang butuh perhatian. Diamlah sejenak, amati apa yang terjadi, termasuk nan jauh di Palestina.
*Penulis adalah Akademisi Hukum Lingkungan dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga.