“Perlu penyikapan yang arif yang tidak semata konsisten dengan sikap anti imperialisme. Perlu diambil langkah double track atau dua jalur dalam berhubungan dengan Israel.”
Oleh Achmad Murtafi Haris*

KEGAGALAN perhelatan Piala Dunia U20 di Indonesia, menyedihkan banyak orang. Tidak hanya pemain timnas yang menangis, tapi segenap masyarakat Indonesia juga demikian. Tidak hanya pecinta  bola, yang tidak gila bola pun bersedih karena peluang emas yang di depan mata lenyap seketika.

Walikota Surabaya, Eri Cahyadi, mengungkapkan kesedihan dan mempertanyakan nasib Gelora Bung Tomo yang sudah berdandan cantik akan diapakan setelah ini. Nunggu even baru yang entah kapan, sudah keburu butuh renovasi lagi dan habis biaya banyak lagi. Sia-sia persiapan yang telah dilakukan semenjak walikota Tri Rismaharini. Kenyataan pahit yang harus ditelan bersama.

Banyak ulasan terkait tragedi ini. Ada yang mengarah pada sosok Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah dan I Wayan Koster Gubernur Bali dan partai PDI-P dan PKS yang harus bertanggung jawab. Dan ada yang karena pendukung Ganjar sebagai calon presiden, seperti Ade Armando dan Guntur Ramli mereka tidak ingin Ganjar dijadikan tertuduh utama karena masih banyak tokoh lain yang ikut menolak kehadiran tim Israel. Mengapa hanya kepada Ganjar jari telunjuk diarahkan! Nampak ada skenario yang ingin menggagalkan pencalonan Ganjar sebagai calon presiden lewat jalan ini. Mengapa pula PDI-P menjadikan Ganjar sebagai “corong” Penolakan, bukan jubir partai yang menyampaikan keberatan atas kehadiran tim Israel.

Menarik apa yang dikatakan oleh KBN Nusantara, bahwa sikap dari keempat tokoh itulah penyebabnya. Bukan FPI atau ormas Islam yang dianggap tidak signifikan dalam isu ini.

PDI-P yang oleh Ade Armando selama ini tidak bersinggungan dengan isu Palestina, tiba-tiba lantang menolak kehadiran tim Israel, sesuatu yang tidak langsung bisa difahami oleh orang Indonesia.

Isu Palestina selama ini dipandang sebagai isu agama sehingga yang tampil kalau tidak FPI ya HTI (sebelum dibubarkan). Ternyata partai nasionalis yang tidak mengusung identitas agama juga lantang berteriak. Ini menunjukkan bahwa masalah Palestina bukanlah masalah agama tapi masalah prinsip kemanusiaan dan keadilan universal.

Yerusalem Obyek Pertarungan Tiada Henti

Masalah Palestina memang pelik dan kompleks. Hal ini lantaran terdapat di sana Yerusalem, tanah suci bagi 3 agama: Yahudi, Kristen, dan Islam yang sepanjang lebih dari millennium berebut menguasainya. Sebelum kehadiran Islam (610M), kaum Yahudi telah lama tinggal di kawasan dan berkuasa semenjak Nabi Daud dan Sulaiman. Mereka pernah diusir oleh penguasa Babilonia, Nebuchadnezzar pada 587SM dan keluar Yerusalem. Pada era kekuasaan Cyrus Persia, kaum Yahudi diperbolehkan kembali ke Yerusalem. Pada 332SM, Iskamdar Agung dari Macedonia berkuasa atas Yerusalem dan merubah budaya Yahudi bercampur dengan Helenisme. Pada 65SM, Republik Romawi menguasai Yerusalem hingga satu abad kemudian kaum Yahudi memberontak dan kalah dan mereka diusir oleh penguasa Romawi hingga tersisa sedikit di Galelia.

Saat kehadiran Islam di Arab, kaum Yahudi sudah berdiaspora ke banyak negara termasuk Arab. Yang tersisa tinggal 10-15℅. Kaum Yahudi telah banyak pindah ke agama Kristen. Pada 636M, setelah dikepung 6 bulan oleh tentara muslim, dalam ekspansi Arab ke wilayah Bizantium, patriark Sopronius akhirnya menyerah dengan syarat langsung menyerahkan Yerusalem kepada khalifah Umar b.

Khattab. Sang khalifah dikisahkan menuruti permintaan itu dan pergi menuju Yerusalem dan menerima secara langsung pernyataan tunduk pemimpin gereja Ortodoks ke penguasa muslim. Semenjak itu umat Islam berkuasa di sana hingga 1099, perang Salib terjadi. Meski tentara Salib sempat berhasil merebut Yerusalem kembali, namun hal itu tidak berlangsung lama ketika Salahudin Ayyubi pada 1187 merebutnya kembali dan mengakhiri masa perang Salib 2.

Perang Salib terus berlangsung hingga ke-6. Sepanjang peperangan itu tentara Salib tidak pernah berhasil merebut Yerusalem meski mereka telah berhasil sebagian wilayah pesisir. Kekuasaan Islam pun berlanjut di tangan Turki Otoman setelah merebut dari kekuasaan Dinasti Mamluk pada 1516. Selama 402 tahun semenjak itu hingga 1918, Palestina berada di tangan Otoman. Lepasnya Palestina dari tangan Otoman mengakhiri kekuasaan Islam atas Yerusalem selama lebih

1000 tahun. Tentu saja kepemilikan warga Palestina yang mayoritas muslim atas tanah mereka tidak mudah diambil alih oleh penguasa baru pemenang Perang Dunia 1 gabungan Inggris, Perancis, Rusia, Italia dan semua negara Eropa melawan Jerman, Turki, Bulgaria, dan Austria-Hongaria.

Kekalahan Turki berakibat pada lepasnya koloni Turki di seluruh dunia termasuk Palestina yang kemudian jatuh ke tangan Inggris. Inggris melalui menteri luar negeri Arthur Balfour pada 2 November 1917 mengeluarkan deklarasi yang memberikan kekuasaan kepada kaum Yahudi Inggris untuk mendirikan negara yang diimpikan di tanah Palestina.

Konflik Tanah dan Kekuasaan

Kekalahan Turki atas koalisi Inggris pada Perang Dunia 1 tidak begitu saja menjadi sumber legalitas Inggris untuk memberikan wilayah Palestina kepada komunitas Yahudi. Di mata dunia Islam, keberadaan warga Palestina sebagai pemilik tanah pribadi tidak bisa dipisahkan begitu saja dari penguasaan wilayah secara politik. Artinya bahwa warga Palestina memiliki kedaulatan atas wilayahnya yang tidak bisa dipindahtangankan kepada bangsa Yahudi. Sementara Inggris dan Israel berpegang pada hukum perang di mana yang kalah tunduk pada yang menang dan yang menang berhak merampas kekayaan yang kalah.

Di sinilah sengketa terjadi antara logika perang yang digunakan oleh Inggris dan Israel dan logika hukum yang digunakan oleh dunia Arab. Dunia Arab merasa bahwa kehadiran warga Yahudi adalah penguasaan atas tanah orang lain yang artinya merampok atau menjajah tanah Palestina. Belum lagi negara seperti Mesir dan Jordania sebelumnya pernah berkuasa yang merasa bahwa ia bagian dari wilayahnya. Setidaknya wilayah Israel sekarang dahulu terpecah yang sebagian adalah milik negara tetangga dan tidak hanya milik Palestina. Karenanya pada 1948 terjadi perang antara Israel dan Liga Arab yang dipimpin oleh Mesir yang dimenangkan oleh Israel. Kekalahan kedua ini, setelah kekalahan Turki pada Perang Dunia 1, membuat penguasaan Israel atas tanah Palestina semakin kuat.

Tidak berhenti di situ kekalahan ketiga pun terjadi pada perang 6 hari 1967 di mana pesawat tempur Mesir dibombardir secara tiba-tiba oleh pesawat tempur Israel. Kekalahan itu begitu menyakitkan hingga Presiden Mesir Gamal Abdel Nasr sakit-sakitan dan wafat pada 1971. Hukum perang mendapatkan tambahan legalitas dari de facto kekalahan Arab pada beberapa kali perang.

Setelah sekian lama di bawah kependudukan Israel, dan setelah perang yang tidak kunjung berhenti, warga Palestina kehilangan dominasinya atas wilayah. Mereka hijrah ke negara Arab yang lain dan tanah mereka dijual ke warga Israel. Pusat Statistik Palestina menyebutkan populasi warga Palestina sebanyak 10,7 juta. 3,9 juta berasa di Palestina (36, 6℅); 1,2 juta di Israel (11, 5℅); 5 juta di negara-negara Arab (46,2℅); 0,6 juta di negara asing (5, 7℅). Yang menarik terdapat 1,89 juta warga Palestina yang berkewarganegaraan Israel. Bagi Israel sendiri, Arab adalah etnis kedua terbesar (20,98℅) setelah Yahudi di Israel. Mereka mayoritas beragama Islam (84℅), Kristen (8℅), dan Druze (8℅) dan berbicara bahasa Arab sebagai bahasa pertama dan bahasa Ibrani sebagai bahasa kedua. Mereka dikenal dengan sebutan “Arab48”. Yang artinya bahwa mereka adalah yang tinggal di wilayah Palestina yang pada perang 1948 berhasil dicaplok oleh Israel. Sebagai warga di wilayah pencaplokan, di dataran tinggi Golan dan Yerusalem Timur, mereka diperbolehkan mengajukan kewarganegaraan Israel. Dari sini tidak mengherankan kalau di antara pemain timnas Israel adalah Arab dan muslim.

Normalisasi Hubungan Arab-Israel

Pada 1948, warga Palestina, 1,37 juta sementara warga Israel 806 ribu. Sekarang warga Palestina 4,923 juta sementara warga Israel 9,364 juta. Warga Palestina yang asalnya hampir 2 kali warga Israel kini terbalik. Dengan perubahan demografi seperti ini yang semakin memperkuat eksistensi Israel di kawasan, posisi hukum Israel semakin kuat. Posisi hukum yang bermasalah karena dianggap penjajahan atas Palestina, berhadapan dengan de facto penguasaan Israel atas wilayah Palestina dan populasi yang semakin besar. Belum lagu banyaknya warga Palestina yang mengambil kewarganegaraan Israel memperkuat legitimasi Israel sebagai penguasa Palestina. Visi partai Hammas yang menolak keberadaan Israel di kawasan semakin tidak rasional. Alih-alih melawan Israel, warga Palestina sendiri banyak yang berkewarganegaraan Israel. Kenyataan ini menjadikan banyak negara Arab yang merubah status hubungannya dengan Israel dari tidak mengakui menjadi mengakui; dari memusuhi menjadi mengasihi. Pada 2020 dan 2021 pemerintahan Netanyahu telah menandatangani normalisasi hubungan dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain. Menyusul kemudian Sudan dan Maroko.

Penandatanganan ini memecah kebuntuan hubungan Arab-Israel yang berlangsung lama semenjak 1994 saat Yordania menandatangani perjanjian damai dengan Israel mengikuti jejak Mesir yang telah melakukannya pada 1979.

Dari 193 negara anggota PBB, hanya 28 negara (mayoritas negara muslim) yang tidak mengakui negara Israel. Meski 165 negara mengakui Israel, namun mereka juga mengakui kedaulatan Palestina. Artinya, mereka mendukung kedaulatan keduanya baik Israel mau pun Palestina. Kebijakan double track ini menunjukkan kearifan dan keberpihakan mayoritas negara dunia pada kemerdekaan dan berdirinya negara Palestina yang berdaulat yang sekarang masih berstatus Otorita di bawah Israel — bukan negara. Beberapa negara juga kerap menarik pengakuan atas Israel seiring kejadian kekerasan Israel atas warga Palestina. Ini menunjukkan dunia tidak serta merta mengakui dan mendukung Israel tapi juga memutusnya jika perlu.

Bagaimana dengan Indonesia

Indonesia termasuk negara yang tidak mengakui Israel dan tidak memiliki hubungan diplomatik dengan negara itu. Meski demikian, hubungan tidak resmi terjalin dalam bidang perdagangan, pariwisata, dan keamanan. Status hubungan Indonesia atas Israel bergantung pada berdirinya negara Palestina sebagai syarat utama. Manakala Israel tidak serius melanjutkan perundingan damai, maka bisa dipastikan Indonesia tidak mau menaikkan status hubungan.

Pola hubungan bersyarat ini telah lama diambil oleh Indonesia dan merupakan jalan tengah antara prinsip menentang penjajahan di muka bumi dan realitas kuatnya eksistensi Israel di wilayah. Jika sikap anti penjajahan pada kenyataannya memberi celah bagi hubungan tidak resmi antara Indonesia dan Israel, kehadiran tim olahraga Israel bisa merupakan bagian dari dispensasi ini.

Diplomasi olahraga seperti yang dilakukan oleh Bung Karno pada Asian Games 1962 yang menolak tim Israel dan Taiwan untuk hadir di Jakarta, tidak bisa disamakan dengan kondisi saat ini dalam kasus Piala Dunia U20. Pada saat itu Israel dan Arab berada pada puncak ketegangan dan kondisi perang besar, terutama Mesir. Gerakan anti imperialisme saat itu begitu sentral dengan Soekarno sebagai pemimpin utama di dunia. Sementara sekarang, setelah lebih setengah abad, keadaan sudah berubah.

Semangat Anti imperialisme saat itu berada dalam gelombang revolusi yang mendominasi seluruh belahan Asia dan Afrika. Era revolusi yang penuh sikap perlawanan terhadap Barat, kini telah bergeser ke arah hubungan saling percaya dan saling menguntungkan. Dengan perubahan ini, sikap keras atas Israel seperti yang ditunjukkan oleh Soekarno tidak bisa persis sama ditiru. Apalagi saat itu posisi Indonesia sangat kuat sehingga posisinya sebagai tuan rumah tidak tergoyahkan. Tetapi untuk saat ini, seperti dalam kasus pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah, tentu yang terjadi amatlah merugikan diri sendiri.

Ganjar Pranowo pun bersikukuh dengan sikapnya dan meneruskannya dengan kemungkinan menolak lagi tim renang Israel ke depan dalam laga renang internasional di Bali. Jika hal serupa, pembatalan oleh federasi renang dunia terjadi, apakah tidak mengulang jatuh ke lobang yang sama?

Perlu penyikapan yang arif yang tidak semata konsisten dengan sikap anti imperialisme. Perlu diambil langkah double track atau dua jalur dalam berhubungan dengan Israel. Satu jalur menerima kedatangan tim Israel sebagai masyarakat olahraga yang apolitik. Satu jalur lagi pro aktif memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Gus Dur pernah berkata, “kalau jalan lurus tidak bisa, belok tidak bisa, ya terpaksa jalan miring”. Jalan miring di sini tentunya dengan

menerima kehadiran tim Israel dan bukan dengan menolaknya. Dalam pergaulan kadang kita terpaksa menerima keberadaan orang yang tidak kita sukai. Dalam perhelatan besar, selalu ada anasir yang disukai dan tidak disukai. Jangan sampai gegara satu unsur peserta, perhelatan menjadi batal. Sungguh tidak sebanding antara sikap konsisten dan kerugian yang menimpa diri. Lebih arif menerimanya dengan bergaining kemerdekaan Palestina daripada menolaknya tapi runyam. (*)

*Dr Achmad Murtafi Haris adalah Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry