Oleh: Abdul Wahid*

“Membuat sesuatu yang mudah menjadi rumit itu sudah biasa, tetapi membuat sesuatu yang rumit itu menjadi mudah itu yang disebut kreativitas,” demikian pernyataan  Charles Mingus, yang sejatinya mengingatkan setiap elemen bangsa di dunia, supaya jadi pekerja keras dalam kondisi apa pun.

Dalam ranah pemikiran Mingus itu,  subyek bangsa dimanapun berada, termasuk Indonesia dinasihati agar menjadi pilar bangsa yang tidak lelah dalam menunjukkan diri sebagai sosok kreatif  atau “pekerja serius” di tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Pemikiran Mingus itu sejatinya mengajak setiap subyek bangsa agar tdak menjadi manusia-manusia kalah di tengah keragaman tantangan yang dihadapinya. Bukti ketidaktaklukannya pada tantangan yang mengujinya diantaranya dengan menunjukkan kalau kekuatan mentalitasnya tidak sampai lemah, apalagi “ambyar” dalam menjawab tantangan hidupnya.

Kalau dilihat dari sisi realitas manusia Indonesia yang menyandang prediket sebagai manusia-manusia beragama, khususnya umat Islam, yang bergelar the biggest community in the world  atau masyarakat muslim terbesar di muka bumi, maka masyarakat wajib menunjukkan dirinya kalau hidup di dunia ini harus optimis, tidak boleh sampai menyerah kalah, apalagi sampai memilih jalan ”impoten” (ketidakberdayaan).

Allah SWT berfirman, “janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran [3]: 139). Dalam ayat ini setidaknya terkandung dua aspek penting, pertama, manusia dituntut tidak memiliki, apalagi memelihara sikap lemah (impoten) atau kesusahan  saat menghadapi ujian. Ujian apapun harus tidak dijadikan faktor mengimpotensikan diri, masyarakat, dan bangsa, kedua,  manusia itu berderajat tinggi, yang semestinya sebagai makhluk unggul haruslah giat dan kuat dalam menunjukkan keunggulannya dibandingkan makhluk Tuhan lainnya,

Dalam suatu hadis juga digariskan: ”mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada mukmin yang lemah, tetapi di tiap-tiap (seorang mukmin) itu ada kebaikan, optimistislah kepada apa-apa yang memberi manfaat.”.  Garis norma ini juga sudah tegas mengingatkan bahwa Tuhan sangat mengapresiasi hambaNya yang tidak menyerah dalam eksaminasi-Nya. Segala bentuk eksaminasi-Nya tidak boleh dijadikan alasan ”melemahkan” diri, karena manusia mempunyai potensi untuk menyebarkan kekuatannya dalam menyehatkan atau menjaga konstruksi peradaban.

Doktrin tersebut sebenarnya juga dapat dipahami lebih lanjut sebagai bentuk peringatan serius pada kita, bahwa dalam kondisi apapun, termasuk saat diuji oleh  penyakit bernama Corona (Covid-19) ini, kita wajib tetap optimis, tidak boleh menyerah dalam ”impotensi” atau beragam putus asa.

Sebagai bahan refleksi, Pemerintah Iran misalnya melaporkan, bahwa 100 kematian baru terjadi saat kekhwatiran masyarakat terhadap Corona meningkat. Dalam kasus ini, setidaknya dapat terbaca, bahwa ketakutan masyarakat terhadap penyakit (Corona) secara berlebihan identik dengan menempatkan jenis penyakit ini sebagai kekuatan yang melebihi kekuatannya. Kalau  demikian, maka penyakit ini sama halnya diberikan ruang lebih leluasa untuk mengalahkan dan bahkan ”menghegemoni” dirinya.

Mencerahkan mentalitas masyarakat yang sedang limbung akibat serangan Corona itu jauh lebih urgen (fundamental) supaya mereka tidak  terjebak dalam opsi yang salah dan  tersungkur dalam akumulasi keprihatinan (keidakberdayaan). Setiap subyek sosial wajib unjuk kekuatan mentalitasnya, bahwa dirinya diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi ”pengubah”, dari kondisi sulit (keprihatinan) menjadi pencerahan (keberdayaan).

Deepak Copra dalam Freeman Potential Movement menuturkan “kepada siapa saja yang masih menginginkan kedamaian, kejayaan, dan kesejahteraan di negara ini”, kita katakan “your attitudes create the world, atau “sikap mental andalah yang akan mengubah dunia”

Peryataan Copra itu merupakan ajakan yang bersifat “radikal”, bahwa  dunia (negara) hanya bisa diubah oleh setiap mentalitas rakyatnya. Tanpa mentalitas tangguh seperti penuh optimisme, maka tidak akan pernah ada pencerahan (kemenangan) yang bisa diraih dan dinikmatinya.

Optimisme harus tetap berkobar di hati masyarakat Indonesia dan dunia untuk menunjukkan diri, bahwa masyarakat dunia ini tidak tamat atau ”kiamat”. Masyarakat negeri ini tentulah bisa menunjukkan kreasi, inovasi, dan militansinya dalam melawan Corona dengan segala aspeknya yang ”bervirus” melemahkan dan bahkan menghancurkan keberlanjutan konstruksi kehidupan.

Masyarakat negeri ini harus menunjukkan kekuatannya, pasalnya dari kekuatan ini, akan banyak bisa diharapkan terjadinya peruibahan dan pembaharuan. Suatu masyarakat akan menjalani kehidupannya secara stagnan dan bahkan terasa ”mati” lebih dini, bilamana elemen sosialnya gagal menyemangati, menguatkan, dan mengelaborasikan potensi yang dimilikinya secara totalitas.

Ada suatu relasi  antara keberhasilan dalam menjalani (pergulatan) kehidupan, termasuk dalam menghadapi Corona dengan prinsip atau mentalitas optimisme. Pengalaman kesejarahan wajib dijadikannya sebagai sumber acuan moral,  khususnya yang positip atau mendukung langkah-langkah pembaharuan, pasalnya dari pengalaman inilah, seseorang atau komunitas bisa belajar dari kekurangan atau kesalahan yang pernah diperbuatnya.

Yang seharusnya banyak belajar dari pengalaman, adalah elemen elit kekuasaan, yang nota bene sebagai kumpulan manusia-manusia berpendidikan tinggi,  yang bukan sekedar berkata pada masyarakat tentang urgensinya menjaga kesehatan dan beberlanjutan hidup rakyat, tetapi mereka sendiri juga harus memberikan keteladanan penyelenggaraan kekuasaan yang benar-benar (secara totalitas) demi dan untuk rakyat, misalnya tetap berani ”blusukan” guna melihat secara langsung realitas mentalitas rakyat dalam menyikapi Corona.

Itu menunjukkan, bahwa penyelenggara lekuasaan harus menampilkan keberdayaanya secara totalitas dalam menghadapi Corona supaya menjadi sumber inspirasi, kekuatan mentalitas, dan arah ke depan bagi masyarakat.

Kalau itu bisa ditunjukkan, maka masyarakat akan terbentuk mentalitasnya dalam mendampingi penyelenggara kekuasaan dalam melawan segala jenis penyakit apapun yang potensial merapuhkan konstruksi bangsa ini, termasuk Corona. Setiap subyek sosial akan terpanggil untuk ”berani” mati atau ”mewakafkan” mentalitas militansinya dalam memberikan yang terbaik demi diri, masyarakat, dan negarana.

Ranah tersebut bermakna, bahwa kebersamaan melawan Corona tidak boleh berhenti dalam ragam imbauan, tetapi harus diikuti sikapnya sebagai elitis empiris yang paedagogis untuk mengarahkan  rakyat supaya memiliki mental tidak lemah, sehingga dengan militansi yang ditunjukkanya ini akan ”memenangkan” Indonesia dari segala jenis penyakit apapun, termasuk Corona.

* Penulis adalah pengajar Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry