“…Sudah lama kita kenal birokrat yang menyandang identitas  sebagai “pegawai berpangkat kopral, tetapi penghasilan tetapnya berklas jenderal”. Mereka ini pandai membaca peluang sebagai sumber pendapatan yang menguntungkan.”

Oleh: Anang Sulistyono

SALAH SATU persoalan yang mengkhawatirkan banyak pihak, terkait wabah Covid-19 adalah soal ketahanan pangan. Mereka takut rakyat negeri ini akan kehabisan, minimal mengalami krisis pangan serius akibat Covid-19. Lebih khawatir lagi, jika wabah ini berlangsung lama, maka, problem ketersediaan pangan menjadi serius.

Tanpa menjalankan strategi dan langkah tanggap darurat pangan yang nyata, bukan tidak mungkin dampak pandemi Covid -19 bakal memicu ancaman kelaparan nasional.

Bukan akibat kurangnya stok pangan, atau gangguan logistik dan distribusi, tetapi lemahnya daya beli, yang membuat masyarakat tidak lagi sanggup membeli pangan.

Di lain sisi, sejumlah pengusaha juga memberi sinyal mencemaskan, bahwa, kemampuan keuangan perusahaan mereka untuk bertahan di tengah Covid-19, maksimal enam bulan ke depan (Hermas E. Prabowo, Kompas, 27 April 2020).

Bagi rakyat kecil, saat ini, bukan hanya kekhawatiran sulit mendapatkan (memenuhi) kebutuhan pangan, khususnya di beberapa bulan ke depan, tetapi juga dihadapkan dengan kondisi makin sulitnya mempunyai uang (mencari pendapatan).

Kalau di sisi pendapatan saja, mereka terhempas (sekarang sudah banyak), bagaimana mungkin mereka mampu memenuhi kebutuhan pangannya.

Menyikapi ancaman dan ketakutan publik tersebut, ada kelompok yang seharusnya menyikapinya sebagai tantangan kapabilitasnya, yakni para birokrat negeri ini.

Secara manusiawi, boleh saja mereka ikut khawatir, namun sebagai pilar strategis bangsa, mereka wajib menunjukkan kemampuannya sebagai “mesin’ yang mengatur kehidupan rakyat.

Jika mereka kuat, dalam arti paham, benar, jujur dan mampu menjalankan roda birokrasi pangan yang dimiliki negara dengan target sebesar-besarnya kebutuhan pangan rakyat, maka ancaman kelaparan, apalagi sampai mengalami kematian massal akibat kekurangan pangan, tidak bakalan terjadi.

Birokrasi Masih Koruptif

Sayangnya, kita selama ini, masih ada “virus” lain di luar Covid-19, yang menjangkiti birokrasi. Dalam suatu negara yang, masih belajar jadi baik seperti Indonesia, birokrasi masih sering lamban melayani atau menangani kepentingan publik. Apa yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat yang bersifat segera, secepatnya, atau darurat, tidak atau kurang dijadikan sebagai proyek kinerja istimewanya.

Elemen birokrasi itu kurang atau tidak cerdas membaca realitas kepentingan publik yang seharusnya diselesaikan secepatnya. Karena selain kapabilitasnya banyak yang rendah, juga dalam pikirannya sering sebatas memikirkan cara-cara mengambil keuntungan melalui jalan pintas dari birokrasi yang dilaksanakannya.

Dalam kasus itu menunjukkan, bahwa, secara general kondisi birokrasi masih lah merupakan salah satu sarang utama praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di negeri ini. Di tingkat opini publik pun menyatakan demikian. Tak heran, jika berbagai penilaian negatif acapkali dialamatkan kepada birokrasi.

Misalnya, birokrasi dikatakan suka melakukan pungli (pungutan liar) dan gemar melakukan suap-menyuap, sehingga mengakibatkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) bagi masyarakat pengguna jasa birokrasi.

Dalam penilaian awam, para pejabat itu pun banyak sekali yang rentan terhanyut korupsi, mempermainkan proyek pembangunan, gampang bermain ‘diskresi’ dengan “sunat” sana “sunat” sini, atau mudah menjerumuskan diri dalam berbagai bentuk penyelewengan lainnya.

Logis jika birokrasi seperti itu kerap dituding tidak profesional, pasalnya birokratnya sering menampakkan gaya suka menunda-nunda pekerjaan, lamban, kaku, berbelit-belit, tidak responsif, kurang bertanggung jawab, dan tidak produktif.

Birokrat seperti itu juga tidak sedikit yang mentalitasnya kleptokrat atau obsesi dan aksinya lebih berupa trik-trik menunggangi birokrasi untuk  mengambil keuntungan berlipat.  Keuntungan ini tidak sulit diperolehnya, karena mata, telingan, mulut publik berusaha dijauhkan dari informasi yang  bersifat obyektif.

Dalam urusan pelayanan publik, misalnya, sebagai tugas dan tanggung jawab utama birokrasi, penelitian yang pernah dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada di tiga provinsi yakni Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa kinerja birokrasi masih sangat buruk.

Dalam temuan itu disebutkan, birokrasi belum mampu menyelenggarakan pelayanan publik yang efisien, adil, responsif, dan akuntabel. Dari seluruh indikator yang digunakan sebagai alat ukur, ditemukan kenyataan betapa kinerja birokrasi masih sangat jauh dari yang diharapkan.

Salah satu penyebab buruk dan rendahnya kinerja birokrasi, adalah tidak adanya etika pelayanan yang kuat dan bisa digunakan oleh para pejabat birokrasi untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang baik.

Dalam birokrasi seperti itu, sudah lama kita kenal birokrat yang menyandang identitas  sebagai “pegawai berpangkat kopral, tetapi penghasilan tetapnya berklas jenderal”. Mereka ini sangat pandai membaca peluang yang bisa dieksploitasi, dipolitisasi, atau “dibahasakan” sebagai sumber pendapatan yang menguntungkan.

Maka, sulit (kalau tidak dibilang mustahil), ada kepentingan asasi masyarakat seperti keterdiaan pangan di tengah Covid-19, yang notabene sebagai masyarakat sedang menghadapi kesulitan, penderitaan, dan keprihatinan, dijadikan sebagai obyek utama kinerjanya.

Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula

Indikasinya, pengalaman berkali-kali mengajarkan, bahwa dalam setiap kasus bencana alam, hampir menjadi cerita rutin kalau mereka yang sedang menjadi korban bencana alam adalah korban yang bisa saja mengalami penderitaan berlapis akibat “sudah jatuh tertimpa tangga pula”.

Hak pangan atau distribusi kebutuhan perut yang mestinya menjadi hal utama, di luar kepentingan kesehatan, sering tidak diprioritaskan penanganannya.

Masyarakat yang jadi korban bencana itu dibiarkan menempati kantong-kantong ketidakberdayaan dan ketidakmanusiawian oleh birokrat. Faktanya, seiring dengan derita akibat bencana alam ini, mereka juga menjadi korban bencana struktural, yang tentu saja mengakibatkan penderitaan yang  lebih besar, karena dari bencana struktural ini, hak-hak yang semestinya diterima,  ada yang justru dihambat, dirampas, atau dialihkan peruntukannya untuk kepentingan eksklusif atau “lainnya”.

Anomalitas atau malversasi struktural itu merupakan deskripsi dari bencana lapis kedua yang diterima oleh masyarakat korban bencana, yang bukan tidak mungkin jika rentan ketahanannya di era pandemi Covid-19, kepentingan asasi rakyat berupa ketersediaan pangan akan terabaikan.

Jika demikian, masyarakat yang sedang menderita ini harus menanggung beban dari rentannya atau ketidaktahanan birokrasi yang membutakan mata hatinya, menghilangkan jiwa profesionalitas, dan mematikan komitmen humanitasnya.

Kondisi inilah yang harus dibedah jika menginginkan terjadi atau terwujudnya ketahanan pangan rakyat di era pandemi Covid-19. (*)

Anang Sulistyono adalah Doktor Ilmu Hukum, Dosen dan ketua BKBH Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry