(DUTA.CO/DOK)

Oleh: Rijal Mumazziq Z (Ketua Lembaga Ta’lif Wan Nasyr PCNU Kota Surabaya)

Ketika Jawaharlal Nehru mengunjungi Indonesia, pemimpin India ini kagum melihat semangat toleransi dan kerukunan antar-agama dan etnis di tanah air kita. Lebih terperangah lagi menyaksikan sesuatu yang unik: orang Jawa, beragama Islam, tetapi masih menggunakan nama-nama berbahasa Sanskerta.

“The Indonesian, chiefly from Java, were even more interesting. There were muslims, but even their names are partly derived from Sankrit.” kata Nehru, sebagaimana dikutip diplomat muda Sigit Aris Prasetyo dalam “Dunia dalam Genggaman Bung Karno”. Mungkin, Nehru bakal lebih kaget lagi menyaksikan pemuda muslim menggunakan nama dewa: dari Wisnu, Rama hingga Krisna.

Hanya, jika dicermati, nama-nama Sanskerta dalam konteks ke-Jawa-an juga mulai pudar dalam satu dasawarsa terakhir. Subroto, Wijaya, Setiaki, Arjuna, Hendrajit, Krisna, Sadewa, Aditya, Setya, Ksatria, Sri, Pertiwi, Shinta, Dewi, dan lain sebagainya, sudah tidak lagi populer sebagai nama bayi, seperti beberapa dasawarsa sebelumnya.

Fase ini menandai adanya peralihan ke nama-nama Arab dan Barat. Selain harapan orangtua yang terkandung dalam nama anak, mungkin faktor “keren” dan “asal beda” menjadi faktor yang membuat nama nama Sanskerta tersingkir, digantikan nama Arab dan Barat.

Jadi, saya nggak heran apabila Pak Gatot Saptono, Ketua FUI, kemudian mengubah nama menjadi Muhammad al-Khattath, beberapa tahun silam. Bahkan kini menyandang gelar Kiai Haji segala. Mungkin karena nama asli dianggap kurang Islami dan kelihatan jahiliah,  pada akhirnya al-Khattath menjadi nama “reborn”, dan tentu saja menjadi branding juga. Pergantian nama ini tentu menyeret konsekwensi lain yaitu soal fashion. Pak Gatot, eh Pak Khattath, pun mengganti batik dan kopiah hitam dengan gamis dan peci putih yang kadang ada sorbannya juga dalam berbagai penampilan di banyak kesempatan.

Kabarnya, ada juga Teuku Wisnu yang memutuskan berganti nama “hijrah”: Muhammad Alfatih. Teuku Wisnu, dari namanya terlihat terlalu Atjeh dan beraroma Hindu. Akhirnya, setelah dikritik oleh Bachtiar Nasir, dia pun berganti nama, ganti selera fashion juga, dan lekat dengan istilah Arab pula saat berkomunikasi.

Bagi saya itu hak Gatot dan Teuku Wisnu. Silahkan. Itu adalah hak keduanya menggunakan nama baru untuk mendukung performanya. Toh, hanya ganti nama, tidak ganti kelamin, bukan?

Ganti Nama: Dari Doa hingga Faktor Ideologis

Sebelum Islam masuk ke Nusantara, nama nama pribumi banyak didominasi unsur agama yang dominan saat itu, Hindu dan Budha. Sebagian juga banyak yang  menggunakan nama-nama binatang. (h)Ayam Wuruk, Gajah Mada, Lembu Peteng, Kebo Ijo, Mahesa Cempaka, Dyah Lembu Tal, dan sebagainya, adalah nama nama tokoh populer yang menggunakan identitas binatang dalam nomenklatur dirinya.

Setelah Islam masuk, maka penggunaan nama-nama hewan ini mulai berkurang. Di Jawa, nama nama yang berarti doa, seperti Selamet, Subagyo, Bejo, Wicaksono, Cahyo, mulai dominan bersamaan dengan nama bocah berdasarkan hari pasaran: Ponirah (pon), Wagiman (wage), Legimin (legi), Paiman (paing), hingga Kliwon, maupun berdasarkan bulan Jawa: Sapari (Safar), Widodo (Jumadil Awal), hingga Wilopo (Rejeb).

Kaum bangsawan Jawa juga tidak mau kalah. Mereka menggunakan nama lahir, nama akil balig, hingga nama resmi saat dilantik. Pangeran Diponegoro, misalnya. Raden Mas Mustahar adalah nama lahirnya,  Raden Mas Ontowiryo adalah nama balignya, dan Diponegoro adalah resmi setelah dia dewasa, sedangkan Sultan Abdul Hamid Herucokro Amirul Mukminin Sayidin  Panatagama Khalifatullah Ing Tanah Jawi adalah nama resminya saat menggerakkan perlawanan terhadap Belanda, hingga wafatnya.

Bangsawan Jawa lainnya bahkan menyerap istilah dalam al-Qur’an sebagai basis glorifikasi politis. Maka muncullah gelar Hamengkubuwono, Pakualam, Mangkunegoro, Pakubuwono, yang kesemuanya merujuk pada istilah di dalam al-Qur’an, khalifatullah fil Ardl alias pemegang kuasa Allah di muka bumi, sebagaimama keterangan Ahmad Mansyur Suryanegara dalam “Api Sejarah (jilid 1)”.

Nama-nama politis ini juga muncul pada saat Orde Baru melakukan program “pembauran warga keturunan” Tionghoa dengan “pribumi” dengan cara menyuruh mereka menggunakan nama-nama non-Tionghoa. Liem Sioe Liong berganti nama menjadi Sudono Salim, Liem Hong Sien menjadi Anthony Salim, Tjoa Jien Hwie menjadi Surya Wonowidjoyo, The Kian Seng menjadi Bob Hasan, Zhong Wanxue menjadi Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dan sebagainya. Meski berubah, namun mereka tetap menyisipkan nama marganya di dalam nama baru tersebut. Sebagian besar ikut program penamaan ini, sebagian kecil tetap kukuh menggunakan nama Tionghoanya: Kho Ping Ho, Liem Swie King, dan Kwik Kian Gie.

Aspek perubahan nama berdasarkan aspek ideologis-politis ini juga lebih kental di kalangan aktivis jihad sejak era 1970-an di Indonesia. Selain mengubah nama menjadi kearab-araban, mereka juga menyematkan nama alias untuk menghindari endusan intelijen (Imam Samudera, pengebom Bali, kurang lebih punya 9  nama alias) dan menggunakan nama “kunyah” berawalan Abu. Misalnya Abu Wardah, Abu Hamzah, Abu Umar, Abu Ukasyah, dll, disesuaikan dengan nama anaknya. Misalnya, saya punya anak bernama Avisa,  maka saya dipanggil dengan nama Abu Avisa, bukan Pakne Avisa, meskipun esensinya sama.

Penggabungan nama ini juga harus mempertimbangkan estetika, biar keren, sebab kalau anaknya menggunakan nama Jawa, misalnya, maka terasa menggelikan di telinga. Jadi nggak bakal kita temui Abu Subagyo, Abu Widodo, Abu Sukamto al-Indunisiy, Abu Asep As-Sundawi, Abu Otong al-Batawi, Abu Ronaldo Assidarjawi di kalangan aktivis harakah muslim, misalnya. Mengapa? Ya nggak keren lah. Masak mujahid namanya Abu Otong al-Batawy atau Abu Kacong al-Madury. Bisa kehilangan kharisma tuh di hadapan ukhti-ukhti.

Jangan Harb, tapi Husain

Dalam ritual aqiqah, biasanya juga sekalian disertakan upacara pemberian nama alias walimah at-tasmiyah. Peresmian nama ini biasanya dilakukan oleh ulama disertai dengan pembacaan doa secara khusus agar jabang bayi menjadi manusia mulia. Sebagian juga menyertakan pembacaan maulid al-Barzanji dan Burdah agar tertular keberkahan dua kitab berisi bait-bait pujian terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tersebut.

Dalam beberapa riwayat hadis, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengubah nama beberapa orang agar lebih bermanfaat, mengandung optimisme dan doa. Dalam sebuah riwayat, ketika putra keduanya lahir, Sayyidina Ali bin Abi Thalib memberi nama Harb (Perang) kepadanya, sebagai lambang kegagahberanian. Rasulullah menukas lembut, “Jangan dikasih nama Harb, tapi Husain (luhur).” Akhirnya, nama Husain lah yang melekat pada pemimpin syuhada Karbala tersebut.

Tak heran jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selalu bersikap optimis. Ketika melihat nama-nama para sahabatnya yang janggal beliau langsung memintanya mengubah nama. Abdul Ka’bah bin Auf diganti menjadi Abdurrahman bin Auf, Ashiyah (pendosa) menjadi Jamilah (cakep), Ashram (tandus) menjadi Zur’ah (subur), Hazn (sedih) menjadi Sahl (mudah), Saib (yang terlantar) menjadi Abdullah, dan sebagainya.

Orang Jawa, setahu saya, juga punya kebiasaan unik. Apabila punya anak dan dia sakit-sakitan, maka harus diganti dengan nama baru agar selamat, sehat kembali dan panjang umur. Ritualnya membuat bubur merah putih diiringi dengan doa dengan harapan agar nama baru ini membawa keberkahan bagi pemilik nama. Di antara yang pernah mengalami perubahan nama ini adalah Bung Karno. Kusno adalah nama lahirnya, Sukarno adalah nama barunya, dan nama ini ternyata membawa berkah bagi dirinya. Jenderal terkemuka Indonesia, Urip Sumohardjo, juga mengalaminya. Masa kecil bernama Muhammad Sidik. Tapi karena sakit-sakitan dan orangtuanya ingin panjang usia, maka dia menyandang nama baru  Urip, yang artinya Hidup. Nama gres  ini dia gunakan hingga wafat.

Di Nusantara juga ada kebiasaan mengubah nama setelah menunaikan ibadah haji. Tradisi yang berlangsung hingga kini dan banyak yang mengalami “reborn” dengan nama barunya, minimal ada atsar (dampak) positif bagi kepribadian seseorang setelah menunaikan ibadah haji dan menyandang nama baru atau tambahan nama depan usai ke baitullah. Pendiri Ponpes Al-Falah, Ploso, Mojo Kediri, KH. Djazuli Usman punya nama kecil Mas’ud. Beliau mengubah namanya menjadi Djazuli setelah menunaikan ibadah haji. Langkah beliau ini juga banyak dilakukan oleh jamaah haji yang lain. Namun, yang paling populer saya kira penambahan nama di depan nama asli, seperti nama “Ahmad” di depan nama Sukarno, atau “Muhammad” di depan nama Suharto, setelah kedua presiden RI ini berhaji.

Identitas yang Terus Berproses

Saya kira hanya orang Indonesia yang punya nama yang sangat variatif. Di negara ini kita bisa menemukan nama berakhiran “Din” (agama) yang—menurut Karen Amstrong—mulai populer digunakan sejak Perang Salib untuk membangkitkan semangat kaum muslimin. Maka nama Zainuddin, Taqiyyuddin, Tajuddin, Muhyiddin, Saifuddin, Nashiruddin, dan sebagainya, berjejeran dengan nama-nama tokoh pewayangan yang, uniknya, digunakan orang Islam: Krisna, Arjuna, Sadewa, Karno, Bima, Abimanyu, Parikesit, Yudistira, Ekalaya, Drupadi, Kunti, dan sebagainya.

Di negara ini juga kaum muslimin banyak yang menggunakan nama para sahabat Nabi, para ulama dan para sufi, yang kadangkala digabungkan dengan nama filosof, sastrawan klasik, bahkan nama artis idola dan olahragawan favorit. Silahkan cek nama-nama tetangga kita, niscaya kita bakal menemukan beberapa nama yang dinisbatkan pada berbagai profesi di atas.

Bahkan, nama pesepakbola seperti Mario Zagallo, Paolo Maldini, hingga Gianfranco Zola juga digunakan oleh seorang ayah untuk menamakan anaknya sebagai wujud kekaguman terhadap sosok tersebut dan uniknya penyandang nama ini juga menjadi pesepakbola seperti Vava Mario Zagallo (Persija), Maldini Pali (PSM), Gianfranco Zola dan Beckham Putra Nugraha (keduanya Persib Jr). Di Indonesia pula, nama-nama kitab legendaris juga menjadi nama orang: Fathul Qarib, Fathul Muin, Fathul Wahab, Fathul Bari, Fathurrahman, Ihya Ulumiddin, Riyadlul Badi’ah, Riyadlus Sholihin, dan lain sebagainya. Nama penulis kitab dan ulama klasik malah lebih banyak, biasanya berawalan Imam: Ghazali, Syafii, Malik, Hanafi, Hambali, Nawawi, dan sebagainya.

Lantas apa yang bisa kita pelajari dari fenomena nomenklatur yang variatif dan unik ini. Karakteristik bangsa Indonesia, khususnya kaum muslimin, yang senantiasa berproses dan terbuka terhadap segala perubahan dan perkembangan zaman. Dalam konteks budaya, mayoritas lebih cerdas melakukan adaptasi secara terbatas tanpa meninggalkan identitas partikularnya sebagai seorang muslim.

Dalam kajian “interaksionisme simbolik”, “penamaan” bukan semata melangitkan doa dan harapan, melainkan juga bertumpu pada pertukaran simbol. Wujud ini ditandai adanya pemilihan “nama” yang bisa melahirkan harapan, seperti nama Ahmad maupun Muhammad agar anak terpercik keberkahan dan kemuliaan nama Rasulullah; mengerek gengsi sebagaimana pemilihan nama-nama kebarat-baratan dengan arti yang baik; proses branding, sebagaimana yang kita temui saat melihat nama-nama artis yang telah dipermak; hingga penyematan nama marga/keluarga untuk menegaskan stratifikasi sosial.

Jadi, nama tak sesederhana yang kita pikirkan, bukan?

(sumber: halaqoh.net)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry