Ketua SPN Lamongan, Ari Hidayat (duta.co/ardhy)

LAMONGAN | duta.co – Dampak Virus Corona (Covid-19) sebanyak 6.800 pekerja di Lamongan saat ini terpaksa dirumahkan. Sedangkan yang masih aktif terlibat dalam kegiatan Industri namun juga dalam ancaman adanya RUU Omnibus Law Cipta Kerja ada sekitar 20.600 pekerja,

” Angka pengangguran di Lamongan tahun 2020 mencapai 22.115 orang, pemulihan perekonomian diberbagai tingkatan perlu dilakukan, karena perekonomian Indonesia sejak April hingga kini beberapa sektor masih belum maksimal,” ujar Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Lamongan Ari Hidayat, Kamis (30/07/2020).

Dia mengatakan, ancaman resesi ekonomi global yang akan mengimbas keperekonomian Indonesia perlu diantisipasi. Hal yang paling berdampak signifikan, yakni pada sektor padat karya karena yang mampu mempengaruhi sektor riil adalah Industri padat karya.

” Ditengah ancaman resesi mestinya pemerintah sesuai hierarki melaksanakan pemulihan perekonomian secara sistemis dan terintegrasi. Namun hal ini nampaknya belum sesuai dengan harapan kita, dimana pada kegiatan industri mampu menopang daya beli masyarakat,” ungkapnya.

Menurutnya, agenda pemerintahan dibidang industri dan ketenagakerjaan justru terpaku pada RUU Omnibus Law Cipta Kerja, yang jika dianalisis justru tidak memberikan harapan pemulihan pada perekonomian di Indonesia.

” RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah merombak sistem ketenagakerjaan, yang semula sesuai UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan mengatur hubungan industrial melalui tripartite, dengan melibatkan pemerintah daerah kabupaten, sebagai penyelenggara ketenagakerjaan sebagai amanat UUD 1945 pasal 18 ayat 5,” tandasnya.

Pemerintah daerah, lanjut Ari, melaui Dinas Tenaga Kerja melegalkan Serikat Pekerja, membangun hubungan Industrial Tripartite, baik dalam perselisihan kepentingan, maupun pembahasan persoalan UMK sebagai Jaring Pengaman Sosial di bidang ketenagakerjaan.

” Ironisnya, RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah menghilangkan sistem tersebut. Dengan demikian RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah menghancurkan tatanan sistem ketenagakerjaan Indonesia. Dengan menghilangkan peranan negara dalam bidang ketenagakerjaan (Kabupaten sebagai hirarki Konstitusi bagian bawah Negara) dan amanat UUD 1945 pasal 18,” jelasnya.

Ari menuturkan, perubahan yang terdapat RUU Omnibus Law Cipta Kerja, yang merenggut hak pekerja dan mengancam kesejahteraan pekerja, yakni menghapus tripartite, UMK, Kebebasan Berserikat, Ancaman PHK Setiap saat (Demokrasi pekerja lumpuh), karena kasus union busting, akan selalu berujung pada PHK jika perselisihan tidak menemui kesepakatan.

Dengan demikian, kata dia, jika penentuan upah dilaksanakan diperusahaan dengan Bibpartite, yang melegalkan PHK pekerja secara bebas, yang ada adalah ketidak seimbangan perundingan, Jaminan Pesangon berkurang, dan kerancuan Undang-undang.

Selain itu, jelas Ari, RUU Omnibus Law juga tidak sesuai dengan UU otonomi daerah, yang memberikan keleluasaan pada daerah untuk mengelola bidang ketenagakerjaan dengan dalih mempercepat kegiatan investasi, yang mengejar pertumbuhan ekonomi, RUU Omnibus Law Cipta Kerja, disinyalir lebih berpihak pada investor baik nasional maupun multi nasional.

” Dengan demikian kegiatan Industri yang digagas melalui RUU Omnibus law, telah kehilangan substansi kegiatan industri, yang diharapkan memiliki korelasi lurus terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia, baik yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam kegiatan Industrialisasi,” terang Ari.

Dia mengungkapkan, UU Omnibus Law Cipta Kerja, mengisyaratkan bahwa masa depan Ketenaga Kerjaan Indonesia, pada sisi perekonomian dan kedaulatan politik yang sangat memprihatinkan, karena dari sisi ekonomis, dan kekuatan pekerja di dalam atau diluar perusahaan dalam ruang hubungan Industrial pada posisi yang sangat rentan.

” Hal ini dapat diketahui dari pola rumus pengupahan yang menghilangkan item inflasi, yang setiap tahunnya, sepanjang sejarah selalu mengalami kenaikan yang cukup signifikan, dengan demikian posisi keuangan Pekerja pada setiap tahun akan mengalami penyusutan akibat inflasi dan Kurs Rupiah,” imbuhnya.

Dalam PP 78 tahun 2015, sambung Ari, dianggap sistem pengupahan yang parah, karena tidak mempertimbangkan Kurs Rupiah semakin diperparah dengan pola pengupahan sistem RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

” RUU Omnibus Law Cipta Kerja, ternyata melanggengkan sistem Outsorcing dan Kerja Kontrak, padahal pekerja di Indonesia mengharapkan, status kerjanya diperjelas sebagai pekerja Tetap atau PKWTT,” ujar Ari.