“Sungguh tidak bertanggung jawab jika rakyat dipaksa berhadap-hadapan hanya untuk membela kubunya atau melawan kubu yang berbeda.”

Oleh : Yon Machmudi, Ph.D. Akademisi asal Jombang.

PEMILU yang akan diadakan tanggal 17 April 2019 kini tinggal menghitung hari. Suasananya pun semakin memanas dan aroma gesekan sudah mulai terasa. Walaupun pemilu kali ini merupakan pemilu serentak antara pilpres dan pileg tetapi perhatian publik tampaknya lebih fokus pada pilpresnya. Karena pilpres merupakan pertarungan dua calon presiden yang pernah bertarung pada pilpres 2014 lalu maka dapat dipastikan akan berlangsung sengit.

Kubu Jokowi, misalnya, lewat Moeldoko, Ketua TKN menyatakan siap “Perang Total” untuk menghadapi lawannya. Para pendukung militan Prabowo pun menyambutnya dengan “Jihad Total”. Bahkan sebelumnya sudah terdengar wacana “Perang Badar”.

Tentu slogan “perang total” maupun “jihad total” dua-duanya membawa konsekuensi pesan “perang habis-habisan” di level akar rumput. Apalagi calon petahana beberapa kali dengan nada geram dan berapi-api menyatakan “saya akan lawan”.

Nampaknya jalan menuju pilpres semakin panas ditambah lagi dengan menguatnya stigma yang terus dihembuskan di bawah melalui pesan-pesan hoax. Pesan-pesan palsu itu pun tidak hanya dilakukan oleh salah satu kubu pendukung tetapi telah dinikmati oleh kedua kubu pendukungnya.

Sebagai contoh pesan hoax yang sangat masif beredar baik melalui media sosial (medsos) maupun pertemuan-pertemuan para pendukung pasangan adalah tudingan bahwa Prabowo didukung oleh kelompok Islam radikal (khilafah), sementara Jokowi didukung oleh kelompok komunis (PKI).

Jika polarisasi berbasis hoax ini berlanjut, betapa mengkhawatirkannya kondisi bangsa ini.

Meminjam istilah yang pernah diungkapkan oleh Cak Anam (Choirul Anam), Penasehat Pergerakan Penganut Khittah Nahdliyah (PPKN), bahwa rakyat sudah dikondisikan sedemikian rupa seperti seekor jangkrik yang siap bertarung. Pilpres pun digeser menjadi sebuah pertarungan ideologis di mana masing-masing pendukungnya siap untuk “berperang”. Sangat miris melihatnya apalagi kalau sampai para pendukung capres datang ramai-ramai ke tempat pemungutan suara (TPS) menggunakan atribut khusus untuk memamerkan pilihan politiknya.

Sebuah kemunduran demokrasi yang menciderai azas pemilu yang bersifat rahasia.

Disadari atau tidak, sebenarnya para elit dan pendukung kedua paslon pilpres telah menggiring sebuah justifikasi terhadap slogan “perang” atau pun “jihad total”. Dua istilah yang masing-masing secara implisit mengandung pesan militeristik dan kekerasan. Bisa dibayangkan kalau stigma yang tercipta di masyarakat awam adalah sebuah peperangan antara kelompok pendukung khilafah dan komunis.

Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan karena tidak hanya telah mengajarkan sesuatu yang buruk dalam berdemokrasi tetapi juga telah merusak logika publik tentang politik. Karenanya, penting dimunculkan kontra narasi “perang total” dan “jihad total” dengan slogan alternatif yang menyejukkan rakyat yaitu “damai total”.

Pemilu harus damai dan berjalan sesuai dengan rambu-rambu demokrasi bukan sebuah pesta rakyat yang dihadirkan dalam bentuk menakutkan, tidak rasional dan defisit etika.

Surat edaran Kapolri tentang panduan bagi anggota kepolisian dalam mengawal pemilu 2019 tentu perlu disambut positif. Lembaga Polri yang awalnya dicurigai menampakkan keberpihakan pada akhirnya mengeluarkan instruksi kepada seluruh jajarannya agar bersikap netral dan tidak terlibat dalam kegiatan mobilisasi politik.

Demikian juga pernyataan Sri Sultan Hamengku  Buwono X, Gubernur DIY Yogyakarta, baru-baru ini tentang pentingnya netralitas semua aparatur negara dan dukungan terhadap penyelenggara pemilu guna menciptakan pemilu yang kondusif dan damai bagai hadirnygelombang air di tengah api yang membara.

Anehnya, perilaku jahat politisi kini mulai banyak merasuki berbagai elemen bangsa. Agamawan, akademisi bahkan insan media pun tidak segan-segan beralih profesi bak seorang politisi. Mereka ramai-ramai ikut memanaskan dan membakar emosi publik secara tidak rasional.

Padahal sebagai kalangan terdidik mereka memiliki tugas mulia yaitu sebagai suluh penerang pembawa nilai-nilai agung di tengah-tengah gelap gulitanya kehidupan politik. Jangan sampai politik malah membutakan semuanya, termasuk orang-orang yang harusnya berperan sebagai pembawa obor perdamaian.

Karena begitu buruknya perilaku politisi pada waktu itu dan bergesernya rana politik sebagai momok yang jahat dan menakutkan, seorang ulama mesir bernama Muhammad Abduh pada awal abad ke-20 mengatakan “audzu billahi minas siyasah wa siyasiyyin” (aku berlindung kepada Allah dari kejahatan politik dan para politisi).

Alih-alih membawa kebaikan, politik yang didominasi oleh para politisi jahat memberikan kerusakan yang luar biasa karena rakyat hanya dijadikan sebagai objek permainan politik semata.

Tentu, bukan berarti kita harus membenci dan meninggalkan politik. Justru tugas kita adalah menjauhkan rakyat dari pengaruh politisi jahat dengan membangun kesadaran baru. Politik bukan mengumbar agitasi penuh kebencian dan permusuhan kepada sesama anak bangsa, bukan pula memperlebar perbedaan. Politik adalah upaya jalan damai yang dapat mengintegrasikan seluruh komponen bangsa yang berbeda-beda agama, suku bangsa maupun kelompok.

Agak mengherankan kalau sekarang marak bermunculan individu-individu yang berbicara maupun menyampaikan pesan publiknya dengan menggunakan cara-cara agitasi mengundang permusuhan. Bahkan tanpa beban sedikit pun menggunakan narasi “perang” untuk menghadapi sebuah proses pemilihan presiden.

Gerakan “damai total” perlu dihadirkan sebagai sebuah gerakan hati rakyat, kontra narasi melawan agitasi para politisi jahat yang hanya memikirkan kekuasaan. Biar bagaimana pun, menggerakkan tangan rakyat agar bersimpati memberikan dukungan politik tentu tidak dapat dilakukan dengan cara-cara membakar emosi dan menggalang militansi secara tidak rasional.

Sungguh tidak bertanggung jawab jika rakyat dipaksa berhadap-hadapan hanya untuk membela kubunya atau melawan kubu yang berbeda. Agaknya politik masih dipahami sebagai upaya mencari celah perbedaan kemudian dipompa agar tercipta sebuah permusuhan serta kebencian.

Tidak mengherankan kalau banyak elit politik begitu menikmati saat menebarkan agitasi permusuhan tanpa memikirkan lebih dalam dampak yang bakal ditimbulkan. Benar-benar ironis.

Ajakan dan dukungan politik harus dengan cara simpati agar dapat menggerakkan hati bukan agitasi yang membakar emosi. Hati-hati itulah yang nantinya beresonansi dengan caranya sendiri, mencari titik temu dalam menentukan pilihan politik terutama dalam pilihan presiden.

Dengan demikian politik menjadi agung karena para elitnya berusaha menguasai hati publik dengan cara-cara yang manusiawi bukan dengan menebarkan kebencian. Para agamawan, akademisi maupun masyarakat sipil yang peduli terhadap bangsa ini tidak boleh bersikap skeptis.

Mereka tetap harus memerankan diri sebagai suluh penerang guna mewujudkan sebuah politik yang agung (siyasah aliyah samiyah) bukan sebaliknya menjerumuskan diri dalam kubangan politik rendahan (siyasah safilah).

Kiai Sahal Mahfudz pernah berpesan dalam sambutan pengarahan pada Rapat Pleno PBNU tanggal 6-8 September 2013 di Pondok Pesantren UNSIQ Al-Asy’ariyah Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Beliau mendorong NU sebagai organisasi untuk memerankan politik langit.

Dalam bahasa beliau politik kekuasaan atau politik tingkat rendah (siyasah safilah) adalah porsi partai politik dan warga NU secara perseorangan sedangkan NU sebagai lembaga harus steril dari politik praktis.

Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi (siyasah aliyah samiyah), yaitu politik beretika berwawasan kebangsaan dan kerakyatan.

Sejalan dengan pernyataan Kyai Sahal maka dalam merespon situasi saat ini, sudah sewajarnya kita mulai menggerakkan kekuatan hati, menyuarakan semangat damai total. Kita perlu merenung secara dalam seraya menggunakan hati-hati kita dalam menyikapi pesta demokrasi ini.

Marakkan Gerakan Damai Total

Memang ketika polusi informasi merebak di mana-mana dan tidak ada figur yang berani berdiri secara secara objektif dalam menghadirkan informasi objektif maka cara terbaik adalah mengembalikan pada mekanisme hati. Sebuah mekanisme sunyi yang dilakukan dengan menolak provokasi dalam sepi melalui hati-hati yang bersih. Pilpres itu tidak perlu disikapi dengan gaya perang-perangan baik itu perang total maupun perang badar. Pilpres bukan perang tetapi sebuah mekanisme demokratis untuk mencari pemimpin bangsa yang dapat menentramkan hati rakyat.

Karenanya, tidak perlu ada gontok-gontokan dan pamer-pamer dukungan. Biarkan aspirasi itu tersimpan dalam hati, dikonsultasikan lewat doa dan ditunaikan pada waktunya. Biarlah hati yang bekerja dan menemukan momentumnya dalam sunyi bukan melalui orasi maupun agitasi. Berdoa di ruang-ruang sepi tanpa harus mengancam Tuhan di depan publik, bukan pula ramai-ramai turun ke jalan membakar emosi. Di situlah nanti nampak secara damai hati dapat menentukan siapa yang perlu dihukum dalam sunyi dan siapa yang perlu didukung dalam damai.

Jika ada yang kalah maka kalahnya secara terhormat dan jika ada yang menang, menangnya pun bermartabat.

Pemilu harus damai karena hadirnya hati-hati yang damai sehingga hasilnya pun dapat diterima secara legowo oleh masing-masing konstestan. Apa pun hasilnya dan siapa pun yang terpilih adalah baik untuk bangsa dan sekali lagi rakyat adalah pemenangnya. Siapa pun presidennya, damai rakyatnya dan kembali tersenyum bersama-sama bergandengan membangun bangsa. Persatuan, kehangatan dan keramahan anak bangsa tidak boleh tercabik-cabik hanya karena berbeda pilihan dalam pilpres.

Para pendukung Jokowi dan Prabowo mari marakkan gerakan damai total dan jangan berikan ruang untuk para pemburu dan pengabdi kekuasaan menyetir aspirasi publik. Kembalikan peran suara hati yang sunyi dan damai.

Percayalah, jika para elit di atas damai maka massa di level akar rumput pun akan damai. Namun jika mereka tidak mampu membawa pesan damai maka publik harus mampu mengajarkan kepada mereka tentang hakekat sebuah perdamaian dalam sebuah hajatan demokrasi. (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry