Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

“Melarang mereka mudik, memang, dilematis. Mereka boleh dilarang mudik, tetapi, negara wajib menjamin kehidupan mereka. Apakah negara sanggup karena undang-undang mengaturnya?”

Oleh: Nurudin*

PERTANYAANNYA: Mengapa rakyat kebanyakan dilarang mudik saat muncul wabah covid-19 ini? Tentu ada banyak ragam dan sudut pandang. Ada yang membela mereka dan membiarkan mudik. Tentu saja dengan alasan yang berbeda, tergantung latarbelakang, kepentingan, tujuan dan lingkaran sosial yang melingkupinya.

Persoalan mudik memang menjadi sorotan tajam saat ini.  Mudik menjadi masalah karena ia tidak lagi berkaitan dengan faktor ekonomi dan social, tetapi juga politik. Hampir sama dengan penanganan covid-19 yang belum menemukan penyelesaiaan yang tepat. Masalahnya persoalan ini cenderung digiring ke masalah politik. Jadi isinya pertarungan kepentingan antarpihak. Sebut saja pertarungan antara kepentingan negara dengan kepentingan masyarakat umum.

Kelas Sosial

Apakah konflik itu hanya melibatkan kepentingan pemerintah dengan masyarakat umum? Jika ditelusuri akar persoalannya ternyata tak sesederhana itu. Pandemi ini bisa dikatakan perseteruan antarkelas dalam masyarakat.

Misalnya, begini saja, katakanlah kita membagi kelas sosial dalam masyarakat menjadi dua, yakni kelas borjuis dan kelas proletar. Kelas borjuis secara mudah saja bisa dilekatkan pada mereka yang punya kepemilikan modal dan perilaku terkait dengan kepemilikan. Kelompok ini biasanya masuk dalam kelas memengah. Mereka diantaranya; kelas pedagang dan mendapat kekuatan secara ekonomi dan sosial berkaitan dengan pekerjaan, pendidikan dan kekayaaanya, juga kekuasaan.

Sementara kelompok kedua disebut kaum proletar. Kelas ini sering dilawankan dengan kelas borjuis (menengah). Apa yang tidak ada pada kelas menengah disematkan pada kelas proletar. Kelas ini dianggap kelas kedua karena dianggap masyarakat kelas bawah.

Umumnya mereka ini bekerja sebagai buruh, petani, nelayan atau orang-orang yang tak memiliki perilaku tertentu tak berdasar keistimeawaan atas kekayaan yang dimiliki kelas proletar. Secara kekuasaan, pendidikan dan pekerjaan mereka ini tak berkaitan dengan kekayaan mencukupi yang dimilikinya. Istilah kelas ini kemudian dikritik karena dianggap punya makna penyoratif (menghina dan merendahkan).

Soal Mudik

Maka, sebenarnya, perbedaan cara penanganan Covid-19 itu bisa dilihat dari konflik dalam kelas sosial. Penulis akan mengamati konflik kelas sosial itu dengan memakai kasus mudik ke kampung halaman yang justru terjadi saat mewabahnya covid-19.

Pertanyaannya, mengapa mudik dianggap bermasalah? Mamakai kacamata kelas memengah barangkali sudah hal biasa. Kita akan mencoba menganalisis dengan memakai kacamata kelas kaum proletar.

Sebenarnya melarang mereka mudik itu juga tidak seratus persen benar. Mudik adalah hak asasi manusia. Setiap orang harus dihormati hak-haknya. Tentu ini jika dilihat dari satu sisi hak asasi. Sebab jika dilihat dari sisi kelas menengah yang kebanyakan punya kekuasaan akan berbeda. Keinginan mudik ini tentu menggelisahkan pemerintah dan kelas menengah. Tapi coba kita melihat dari sisi yang lebih detail lagi.

Saat covid-19 muncul, ada larangan untuk mudik. Alasannya untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Masyarakat dihimbau untuk melakukan physical distancing, ada yang mengusulkan karantina wilayah. Kebijakan ini tidak salah. Karena hanya ini yang bisa kita lakukan. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) itu pun aslinya juga sama dengan karantina. Intinya menjaga jarak.

Terus seandainya masyarakat proletar itu dilarang mudik siapa yang membiayai kebutuhan sehari-hari? Ini juga perlu dipikir.  Misalnya pedagang kaki lima yang ada di kota-kota. Mereka “hijrah” dari desa untuk mengadu nasib di kota. Sudah punya tempat tinggal dan berkeluarga. Kemudian muncul kebijakan melakukan jarak fisik. Jarak fisik saja dilarang apalagi berjualan, ini misalnya. Sementara itu jualan mereka juga tidak laku karena tak ada yang mau membeli. Daripada “mati” di kota yang tak ada sanak keluarga, mereka memilih mudik.

Apakah ini tidak mengkhawatirkan? Tentu saja mengkhawatirkan. Mereka bisa menjadi perantara penularan virus covid-19. Kenyataan ini sudah terbukti. Tetapi mereka tentu tetap memilih mudik. Tindakan ini memang tidak tepat hanya tidak seratus persen salah.

Sementara itu itu pemerintah juga tidak tegas siapa yang akan menjamin kebutuhan sehari-harinya? Mau “dilock down”, pemerintah berpikir ulang, darimana dana untuk itu?  Sementara itu utang negara kita sudah menumpuk dan ketergantungan pada asing kian kuat.

Bagi masyarakat proletar mudik itu pilihan. Mengapa mereka yang disalahkan? Bagi mereka, virus ini khas milik kaum menengah. Siapa yang terjangkiti? Siapa pembawa virus itu awalnya? Siapa yang gelisah dengan penyebarannya? Siapa yang menganjurkan karantina wilayah atau PSBB? Siapa yang mengampanyekan jaga kebersihan dan kesehatan? Kelas menengah, bukan?

Kelas proletar itu tentu akan bilang bahwa virus itu masalah kelas menengah. Mengapa mereka yang dilarang melakukan aktivitas? Kalau mereka dianggap susah diatur itu sudah menjadi jamak. Mereka juga punya hak untuk mudik. Kewajiban membayar pajak sudah dilakukan ke  negara. Lalu kewajiban negara untuk menyantuni dan membantu kaum proletar saat pandemi ini bagaimana? Ini pertanyaan dan jawaban yang logis khas jika kita memakai sudut pandang kaum kebanyakan.

Tentu perilaku mau gampang dan menang masyarakat kelas sini mengkhawatirkan. Tetapi hal itu tidak menjadikan kita terus-terusan menyalahkannya. Menjengkelkan memang tetapi kalau hanya terus menyalahkan masalah tak pernah selesai.

Kehadiran Negara

Jadi, melarang mereka mudik memang dilematis. Mereka boleh dilarang mudik tetapi negara wajib menjamin kehidupan mereka. Apakah negara sanggup karena undang-undang mengaturnya? Sebenarnya negara ini kaya, namun sejak dahulu salah pengelolaaan. Yang merasakan betul itu tentu kelas proletar tersebut.

Pemerintah melarang mereka mudik jangan-jangan karena memang tak tersedianya dana yang mencukupi. Mau karantina wilayah saja tidak berani karena memperhitungkan banyak hal. Termasuk faktor ekonomi dan ketersediaan dana.

Semoga bukan karena kepentingan politis dan kepentingan sesaat. Negara ini kaya dan pemerintahannya sangat kuat karena tak ada pihak dan lembaga lain yang bisa mengontrol. Jika mau memutuskan kebijakan yang dahsyat sekalipun akan mudah dilakukan. (*)

Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry