“Kalau manusia negeri ini mau belajar pada lebah,  tentu potret kehidupan kemasyarakatan yang sedang diuji Corona ini, akan menampakkan kekuatannya. Pasalnya segenap elemennya akan sibuk memainkan peran untuk memberikan manfaat.”
Oleh: Abdul wahid

HUBUNGAN seseorang atau segolongan satu dengan lainnya di tengah masyarakat, khususnya dalam “berjihad” melawan wabah Corona  ini, selayaknya belajar dari lebah. Sosok hewan kecil bernama “lebah” yang bukan hanya berjasa pada alam, tetapi juga  manusia.

Lebah telah menunjukkan dirinya sebagai “golongan” dari makhluk Tuhan yang berorientasi “memberi” yang terbaik pada makhluk lainnya, bukan selalu meminta dan menuntut.

Lebah telah dihadirkan oleh Tuhan sebagai “sampel” diantara makhluk hidupNya yang lebih suka memberi, mengasihi, menabur kesejahteraan, keselamatan, atau keberkahan pada makhluk lainnnya di bumi.

Apa yang diperbuat lebah ini telah menjelmakan dirinya sebagai hewan yang pengabdi, yang merelakan dirinya langgeng menjaga keberlanjutan hidupnya demi kemaslahatan manusia dan sumberdaya ekologis.

DihadirkanNya lebah itu supaya manusia bisa membaca, bahwa ada golongan makhluk lain, yang bisa mengambil peran, menunjukkan kesejatian diri, atau teguh dengan amanatNya, tanpa merasa didiskriminasi. Sebagai golongan kecil, lebah tidak merasa bahwa Tuhan menciptakannya secara sia-sia, apalagi sampai merasa menjadi korban penciptaan yang bercorak diskriminasi (AM Rahman, 2003).

”Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, buatlah sarang-sarang dibukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.” (QS An-Nahl (16): 68-69).

Lebah diabadikan sebagai nama surat di dalam Alquran, yakni surat ke-16 (An-Nahl). Stigma ini menjadi pertanda banyaknya keajaiban, manfaat, dan rahasia dalam penciptaannya. Terbukti, selain menghasilkan madu, lebah juga menghasilkan royal jelli, polen, propolis, lilin (wax), sengat (venom), dan membantu penyerbukan tanaman (polinasi).

Dari lebah, kita akan bisa belajar banyak tentang filosofi kehidupan, makna mempergauli alam, urgensi berkomunikasi secara sosiologis, dan cara melindungi negeri yang benar, sakinah, dan menyejahterakan rakyat. Dari lebah, manusia dididik menangkap karya Tuhan yang telah memberi manfaat besar  bagi kemaslahatan secara makro. Alangkah bermaknanya hidup kalian, jika seandainya kelak jadi tulang punggung negeri, yang peran-perannya berkaca pada lebah. (Imam KH, 2009)

Dalam suatu hadis digariskan, bahwa seorang mukmin itu diumpamakan seperti lebah, tidak makan kecuali yang baik, tidak menghasilkan kecuali yang bermanfaat, dan tidak bersifat merusak.

Begitulah profil mukmin ideal, yang kesejatiannya ditunjukkan dengan menghadirkan peran terbaik seperti secara totalitas menunjukkan kalau dirinya banyak manfaatnya di tengah serbuan Corona ini.

Komunitas muslim seharusnya memiliki multimanfaat sebagaimana madu yang memiliki komposisi nutrisi lengkap dan mudah dicerna. Madu juga potensial sebagai antioksidan, antimikroba, antijamur, merawat kecantikan tubuh, pengawet makanan, dan sebagai obat luka (Rusfidra, 2006), sehingga jika muslim memahami peran asasinya ini, maka semestinya banyak derita kemanusiaan akibat Corona yang bisa lebih cepat disembuhkannya.

Apa yang disampaikan Nabi Muhammad tersebut juga merupakan kritik bagi umat Islam Indonesia, yang menempati posisi sebagai golongan mayoritas, bahwa posisi strategis ini idealnya harus sejiwa, minimal dengan lebah. Besar secara mayoritas hanya menjadi identitas kosong dan kehilangan kebermaknaan, jika tidak diikuti dan didukung oleh peran-peran yang menaburkan kemanfaatan bagi sesame atau makhluk Tuhan lainnya.

Di tengah Corona sekarang, “wong cilik” layaknya lebah di negeri ini jumlahnya sangat banyak  dan bermacam-macam. Mereka bertebaran di mana-mana sebagai bagian konkrit dari kapal besar Indonesia yang sedang dieksamina wabah.

Mereka itu juga punya hak-hak yang dijamin secara konstitusional seperti hak hidup, hak memperoleh kesehatan yang layak, hak memperoleh keselamatan, hak mengembangkan diri, hak pangan yang bergizi, dan lainnya, yang kesemua ini bukan hanya harus menggantungkan negara sebagai lebahnya, tetapi juga setiap subyek bangsa berkewajiban menjadi lebahnya.

Coba kita melakukan refleksi, sebagai makhluk Tuhan golongan kecil, lebah telah memainkan peran besar dan bermanfaat bagi golongan besar seperti manusia. Banyak orang yang yang kurang sehat, sakit-sakittan, atau mengidap kekurangan gizi (malnutrisi), yang mengambil manfaat dari lebah. Ini maknanya, lebah telah menjadi teladan sebagai golongan kecil yang tahu berterima kasih kepada Tuhannya.

Cegah Eksplorasi Tangan Kotor

Kalau manusia negeri ini mau belajar pada lebah tersebut,  tentulah potret kehidupan kemasyarakatan yang sedang diuji Corona ini akan menampakkan kekuatannya, pasalnya segenap elemennya akan sibuk memainkan peran-peran yang memberikan manfaat seperti menghormati, melindungi, dan memanusiakan sesamanya, dan bukannya mengorbankan sesamanya demi meuaskan kepentingan pribadi.

Secara moral-filosofis, lebah dapat membuka mata  hati manusia yang sedang buta atau berpenyakitan akibat melupakan Tuhan atau yang hidup bersibuk ria dengan perburuan kepentingan duniawi. Manusia yang tersesat jalan  hidupnya ini, diingatkan oleh lebah, bahwa hidup ini harus bernilai guna dan tidak dijalani dengan sia-sia. Hidup haruslah seperti lebah, yang bisa memberikan dan mengikhlaskan pengabdiannya terhadap masyarakat yang membutuhkannya.

Meski ada yang berasal dari golongan (kekuatan) besar seperti pengusaha, idealnya apa yang diperankannya tidak menjadikan “wong cilik” sebagai obyek yang “dimakan”  atau dikorbankan habis-habisan. Jika mau belajar pada lebah, kedudukannya sebagai pelaku strategis semestinya ditunjukkan lewat kreasi kebersatuan, kemanusiaan, dan kebangsaan.

Itu menunjukkan, jika manusia mau bersikap dan berperilaku seperti lebah, seharusnya jika ia membutuhkan manfaat dari berbisnis alat-alat kesehatan misalnya, tentulah keuntungan yang diambilnya hanya sekedar memenuhi hajat normalnya, dan bukan hajat keserakahan yang tidak pernah mengenal titik nadir.

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (al-husna) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS Yunus: 26), adalah firman Tuhan, yang mengingatkan kepada manusia supaya peran kesejarahannya benar-benar menaburkan kebaikan.

Lebih makro lagi, manusia akan menjadi pilar-pilar berdirinya “bangsa lebah”, suatu potret dari negeri yang mencita-citakan terwujudnya pemerataan kesejahteraan, kesehatan, dan kedamaian, serta hubungan harmonis dan inklusif antar sesama  manusia, jika perbuatan yang ditampilkannya bermaknakan memanfaatkan kekayaan Tuhan secara normal, dan mengabdikan peran-peran humanitasnya demi masyarakat yang membutuhkan peran-perannya.

Di era Corona ini, manusia lain akan merasa aman dengan hak-haknya ketika setiap subyek bangsa bisa mencegah diri dari melakukan dan mengeksplorasikan tangan-tangan kotor (the dirty hands) di muka bumi, dan sebaliknya mewujudkan dan memprogresifitaskan gerakan ala lebah.(*)

Abdul wahid adalah Pengajar Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN dan penulis sejumlah buku Terorisme.

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry