“Saya belajar banyak ilmu tasawwuf dari kiai saya: Kiai Sholeh Qosim. Lalu nilai-nilai itu kutemukan implementasinya di masyarakat Barat.”

Oleh : Ahmad Zainul Hamdi

DI BERBAGAI kesempatan, Prof. Akh. Muzakki, Rektor UINSA Surabaya, menyatakan bahwa shalat kita belum tentu membawa kita masuk surga.

Berbagai ibadah mahdhah yang kita lakukan dan kita andalkan sebagai pemenuhan atas ketakwaan kita kepada Allah belum tentu menjadi boarding pass untuk memasuki pintu surga.

Mengapa? Jawabannya adalah bahwa saat kita beribadah, tidak jarang hati kita tercemar dengan riya’ atau bahkan justru melahirkan perasaan sok suci yang membawa kita pada kesombongan.

Statemen ini berulang-ulang disampaikan, terutama ketika ingin memotivasi para bawahannya. Di beberapa kesempatan pembicaraan one on one dengan saya pun (saya yakin dengan yang lain juga) dia tidak bosan-bosannya menyatakan hal tersebut.

Karena ibadah kita mudah tercampur dengan kotoran-kotoran batin yang mencemari, maka kita harus menjadikan setiap hal dalam hidup ini sebagai ibadah. Dalam konteks jabatan, jabatan yang diamanatkan kepada kita harus menjadi sarana untuk beribadah dengan cara menunaikan tugas secara sungguh-sungguh, jujur, professional, dan kreatif.

Terhadap pandangannya ini, saya teringat dengan buku yang ditulis Max Weber,  The Protestan Ethics and the Spirit of Capitalism. Buku ini menjelaskan bagaimana teologi Calivisme dalam Protestan sanggup memacu kerja keras di kalangan pengikutnya sehingga melahirkan embrio kapitalisme di Eropa Barat

Di dalam Calvisime ada sebuah ajaran yang disebut calling atau panggilan. Calling adalah sebuah ajaran bahwa Tuhan memanggil semua manusia untuk beriman dan bertakwa serta beribadah kepada-Nya.

Sekalipun demikian, Tuhan telah mentakdirkan siapa saja manusia yang selamat dan tidak. Menurut Calvisme, surga dan neraka sepenuhnya adalah hak prerogatif Tuhan.

Karena itu, manusia tidak tahu siapa sesungguhnya manusia yang terpilih dan mana yang tidak, siapa yang selamat dan siapa tersesat, siapa yang akan masuk surga dan siapa yang akan digiring neraka. Lalu, apa yang harus dilakukan?

Doktrin calling ini kemudian ditransformasikan Calvin ke dalam kedisiplinan dalam bekerja saat hidup di dunia. Karena setiap manusia tidak ada yang tahu siapa manusia yang sungguh-sungguh dipanggil oleh Tuhan, maka manusia hanya bisa membuat diri dan hidupnya menjadi manusia yang berguna dalam hidupnya melalui kerja keras. Hamba yang baik bukanlah hamba yang menghabiskan waktunya untuk tidur dan menganggur, tapi bekerja.

Bertakwa kepada Tuhan adalah panggilan dari Tuhan. Ciri dari orang yang terpanggil adalah mereka yang menyibukkan dirinya dalam kerja untuk memberi kebaikan kepada dirinya dalam hidup di dunia.

Kemakmuran hidup di dunia adalah salah satu ciri dari kebaikan. Dengan ini seseorang merasa dirinyalah manusia yang terpanggil atau terpilih. Inilah teologi _calling_ Calvinis yang akirnya mampu menggerakkan para pengikutnya untuk bekerja dan melahirkan _legacy_ berupa ekonomi pasar yang melahirkan kemajuan ekonomi di Eropa Barat.

Suatu kali saya katakan pada Prof. Akh. Muzakki bahwa pandangannya mirip dengan Calvinisme. Dia menuliskan pesan WA kepada saya:

“Saya belajar banyak ilmu tasawwuf dari kiai saya: Kiai Sholeh Qosim. Lalu nilai-nilai itu kutemukan implementasinya di masyarakat Barat. Sebagai Muslim, maka saya harus mampu menggabungkan kemuliaan nilai sufisme itu dengan praktik profesionalisme dalam memegang amanah jabatan. Kesalehan birokrasi, kita butuh ini…. Harus kita perjuangkan agar kita bisa menjadi faktor pembeda untuk kemuliaan UINSA….”

Sebagai sosiolog, pasti Prof. Akh. Muzakki telah tuntas membaca karya Weber yang menjelaskan kaitan antara Calvinisme dan kapitalisme. Tapi pada akhirnya, dia adalah seorang Muslim yang menyerap nilai-nilai kemuliaan dalam tasawuf, seperti ketakwaan, kejujuran, kerendahhatian, keikhlasan, dll. Orang yang belajar tasawuf pasti tahu bahwa seorang sufi meyakini bahwa seluruh ibadah manusia tidak layak digunakan untuk menebus surga.

Manusia masuk surga bukan karena ibadahnya, tapi karena rahmat Allah. Jika surga sepenuhnya karena rahmat Allah, maka yang bisa dilakukan manusia hanyalah menjalankan kebaikan demi kebaikan dalam hidupnya. Ketika nilai-nilai ini dipadukan dengan gagasan dan praktik profesionalisme modern, inilah yang mendasari pemikiran Prof. Akh. Muzakki dalam membangun kesalehan birokrasi. Yaitu, bahwa: “Shalat kita belum tentu membawa kita ke surge. Karena itu, dengan posisi (jabatan) yang ada pada kita saat ini, kita harus bekerja dengan keras, kreatif, inovatif, dan amanah”.

#BanggaUINSA
#Ilove UINSA

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry