Makam Ibunda Patih Gajah Mada, Nyai Andongsari, yang berada di Dusun Cancing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan.

LAMONGAN | duta.co – Pemerhati Budaya Lamongan Supriyo, sangat menyayangkan pemugaran cungkup (atap makam) ibunda Patih Gajah Mada, yang terletak di Dusun Cancing, Desa Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang, tidak ditangani oleh ahlinya.

Pria yang akrab disapa Cak Priyo itu menjelaskan, status makam Ibunda Patih Gajah Mada atau Nyai Andongsari dipugar itu sebagai cagar budaya atau hanya sekadar tempat wisata biasa.

“Jika status makam Nyai Andongsari itu sebagai cagar budaya, tentunya proses pemugarannya harus melalui kajian terlebih dahulu dari para ahli di bidangnya,” ujar Cak Priyo, Minggu (17/4).

Pakar arkeologi itu mengungkapkan, kalau dari sisi cagar budaya, memang seharusnya sebuah pemugaran atau pembangunan lingkungan situs mesti ada kajian terlebih dulu. Baik kajian arkeologi maupun kesejarahannya, dan itu mesti dilakukan oleh ahlinya.

Di daerah, kata dia, biasanya ada tim yang disebut tim ahli cagar budaya. Yang mengkaji kelayakan dari sebuah situs atau benda masuk dalam kategori cagar budaya atau bukan. Dan setelah itu ada keputusan dari Bupati.

“Nah, jika situs Andongsari ini sudah masuk sebagai cagar budaya daerah. Maka segala bentuk perlakuan, baik pelestarian, perlindungan, ataupun renovasi, pemugaran dan pengembangan harus melalui kajian dulu, karena jelas akan berpengaruh terhadap otentitas situs tersebut,” terang Cak Priyo.

Menurut dia, pembangunan atau pemugaran (bangunan fisik gedung) disekitar lokasi situs Andongsari ini sangat berpotensi merusak data situs, karena selama ini belum ada kajian dan penelitian awal di sekitar lokasi situs.

Sehingga, sambung Cak Priyo, pihaknya belum mengetahui batas aman yang diperbolehkan untuk didirikannya sebuah bangunan.

“Di belakang situs Andongsari, saya pernah mendapati banyak jejak sisa struktur batu-bata berukuran besar, dan sebarannya cukup luas. Namun belum ada riset resmi apakah ada struktur bangunan yang tersisa disekitar lokasi tersebut, dan sampai batas mana sebaran fragmen bata itu,” jelas dia.

Dia menduga, masih ada jejak struktur di sekitar situs gunung ratu tersebut, namun perlu kajian komprehensif dan riset lapangan dari para arkeolog. Bagaimana sisa-sisa struktur itu akan diperlakukan oleh pengelola atau penggarap pembangunan situs Andongsari.

“Dibuang atau bagaimana. Dan bagaimana perlakuan data dokumentasinya. Karena sebaran bata dan lainnya yang ada disitu adalah data sejarah, data arkeologi, yang harusnya ada kajian dan dokumentasinya terlebih dahulu secara arkeologi,” ucap Cak Priyo.

Ia menambahkan, bukan kemudian asal bangun, bagus, indah dan megah, tapi beresiko mengobrak-abrik data arkeologi yang sudah ada.

Sebelumnya, Praktisi Spiritual di Lamongan Harun Setiawan juga menyesalkan pemugaran cungkup atau atap yang menaungi makam Ibunda Patih Gajah Mada, Nyai Andongsari.

Ia mengatakan, pemugaran situs tersebut, dianggap telah keluar dari prinsip “meruwat dan merawat” situs itu sendiri. Bahkan, menurut dia, sangat berpotensi menghilangkan “kesakrakalan” dan nilai orsinalitas sejarah.

“Kalau mau merawat cungkup makam, seharusnya tidak boleh ada pembongkaran karena ketika terjadi pembongkaran cungkup, maka sebagai konsekwensinya nilai keaslian cungkup itu sendiri akan hilang,” ujarnya.

Pemugaran situs bersejarah, kata dia, semestinya diserahkan pada ahlinya. Dan jika diserahkan pada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.

Ia juga meyakini, bisa jadi amblesnya jembatan Ngaglik di Jalur Nasional Lamongan-Babat itu erat kaitannya dengan pemugaran dan pemotongan dua pohon besar yang ada di area makam Nyai Andongsari.

“Sebaiknya pihak Pemkab Lamongan tidak sembarangan menunjuk orang untuk meruwat dan merawat situs bersejarah yang merupakan ibunda dari Patih Gajah Mada tersebut,” tutur Iwan panggilan akrabnya. (ard)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry