Direktur LBH Surabaya Abdul Wachid Habib

SURABAYA | duta.co – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mendesak Peraturan Wali (Perwali) Kota Surabaya No. 33/2020 sebagai perubahan atas Perwali No. 28/2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi Covid-19 di Surabaya.

Menurut Direktut LBH Surabaya, Abd Wachid Habibullah, syarat hasil rapid test bagi pekerja asal luar Surabaya memberatkan dengan hasil kurang akurat. Hal ini pun dipandang hanya menyuburkan komersialisasi. “Kebijakan tersebut, diatur dalam pasal 12 ayat (2) huruf f dan Pasal 24 ayat (2) huruf e dalam Perwali No. 33/2020,” ungkanya, dalam rilis yang diterima Duta Masyarakat, Senin (20/7/2020).

Wachid mengatakan aturan itu memberatkan para pekerja, terutama buruh berpenghasilan rendah, meski bertujuan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19 di Surabaya. “Meskipun tujuannya untuk melakukan screening belum tentu dikatakan aman dari Covid-19 namun hal tersebut dirasa berat bagi buruh dan masyarakat,” katanya.

Belum lagi dalam aturan itu Pemkot Surabaya membatasi bahwa hasil rapid test tersebut hanya memiliki jangka waktu atau durasi selama 14 hari. Artinya, pekerja harus melakukan tes ulang secara berkala.

“Mahalnya biaya rapid test secara mandiri, dan hanya berdurasi 14 hari, akan membuat masyarakat terutama bagi kalangan pekerja yang masuk ke Kota Surabaya harus melakukan rapid test secara berulang karena terhambat masa berlaku hasil rapid test yang terbatas,” ujarnya.

Padahal, kata dia, rapid test disebut tak sepenuhnya akurat untuk melakukan screening. Ia khawatir kebijakan ini justru akan dimanfaatkan pihak yang tak bertanggung jawab, untuk meraup keuntungan.

“Tidak hanya masa hasil rapid test yang terbatas namun kualitas dari hasil rapid test tersebut tidak akurat,” terangnya.

Akibatnya, hak atas informasi masyarakat terlanggar karena adanya kesimpangsiuran mengenai harga yang diterapkan untuk melakukan rapid test, beberapa oknum memanfatkan keadaan untuk menyelengarakan rapid test dengan harga yang tidak wajar,” tambahnya.

Problem lainnya, dengan adanya Perwali 30/2020 Pemkot Surabaya menerapkan Jam Malam layaknya PSBB. Hal tersebut juga tidak tepat karena dengan melakukan Jam malam tidak terlalu berdampak dengan penurunan penyebaran Covid-19.

Pemberlakuan jam malam akan berpotensi melanggar hak, terutama bagi pedagang kecil dan pekerja informal yang sedang mencari penghidupan untuk kebutuhan sehari-hari di malam hari.  Selain itu dasar hukum yang dipakai dalam penerapan jam malam tidak mempunyai dasar hukum yg jelas karena membatasi mobilisasi aktifitas masyarakat layaknya penerapan PSBB.

“ Adanya pembatasan pun jika merujuk dalam UU No. 6/2019 tentang Kekarantinaan Kesehatan beserta aturan turunannya Peraturan Pemerintah No. 21/2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar terdapat persyaratan untuk menerapkan pembatasan mobilitas masyarakat yaitu adanya penetapan kementrian kesehatan untuk menerapkan PSBB bagi wilayah yang mengajukan PSBB, sedangkan Surabaya tidak menerapkan PSBB.

Bahwa ketentuan pemberlakuan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Perwali ini tidak sah karena bertentangan dengan UU No. 12/2011 sebagaimana diubah menjadi UU No. 15/2019 tentang Pembentukan peraturan perundangan yg mengatur perundang-undangan yg dapat memuat sanksi hanya UU/Perppu dan Perda, sehingga produk hukum Perwali tidak bisa memuat sanksi. Karena pada hakikatnya pemberlakuan sanksi adalah pengurangan hak masyarakat maka harus diatur ketentuan yg melibatkan masyarakat dalam hal ini DPRD sebagaimana tertuang dalam Perda.

Kebijakan dalam Perwali tersebut membuktikan jika Pemkot Surabaya tidak mampu menangani Pandemi Covid-19 di Surabaya dan tidak mampu untuk menjamin hak atas kesehatan masyarakat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka kami LBH Surabaya Meminta Pemkot Surabaya mencabut Perwali 33/2020 karena merugikan buruh dan masyarakat. Lalu Pemkot juga harus menghentikan kewajiban penggunaan rapid test Covid-19 ataupun kebijakan dalam pencegahan Covid-19 yang merugikan bagi pekerja atau masyarakat.

SElain itu, Pemkot tidak memberlakukan sanksi dalam Perwali 33/2020 karena tidak tepat diatur dalam Perwali. “Terakhir Pemkot Surabaya harus menjamin hak atas kesehatan masyarakat dengan tidak membuat kebijakan yg menyusahkan dan merugikan buruh dan masyarakat,” tandas Wachid. rum

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry