Di samping aksi spanduk pemegang surat ijo sudah mulai 'membidik' aksi hukum. (FT/IST)

SURABAYA | duta.co – Aksi ribuan pemegang surat ijo Kota Surabaya, bisa menjadi ‘ledakan super hebat’. Ini bisa memaksa Pemkot Surabaya harus mengambil sikap lebih tegas. Dibutuhkan diskresi, jalan pintas untuk mendobrak stagnasi alias kebuntuan yang sudah berlangsung puluhan tahun .

“Sudah ada jalan pintas untuk memaksa diskresi itu. Kalau tidak, isu surat ijo bukan hanya menggoyahkan Surabaya, tetapi bisa membuat Jakarta ‘bergetar’. Ini hanya soal waktu saja,” demikian disampaikan salah seorang pemegang surat ijo saat berkunjung ke redaksi Koran Duta Masyarakat, Jumat (13/12/2019) malam.

Kini, upaya personal semakin sistematis. Gerakan penghuni surat ijo untuk mendapatkan hak atas tanah yang sudah lama di tempati, semakin masif. Budianto misalnya, selain melakukan gugatan terhadap Pemkot Surabaya ke PTUN Surabaya, juga berkirim surat ke Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Republik Indonesia.

Dalam surat yang dikirim tanggal 11 Desember 2019 itu, Budianto meminta klarifikasi atas  Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.

“Atas permen ATR ini, ada beberapa peraturan menteri dalam negeri (Permendagri) yang dibatalkan alias tidak berlaku lagi,” ujarnya, Jumat (13/12).

Budianto menjelaskan, berdasarkan Pasal 152 Ayat 1 Huruf ( a ) , ( b ) dan ( c ) Dengan berlakunya peraturan ini, maka beberapa permendagri tidak berlaku lagi. Yakni, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara pemberian Hak Atas Tanah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara

Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah Hak  Pengelolaan Serta Pendaftarannya, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pensertipikatan Tanah Bagi Program Dan Proyek Departemen Pertanian.

“Permen ATR 9 Tahun 1999 dikeluarkan pada  tanggal 24 Oktober 1999 oleh Menteri Negara Agraria RI,” ungkapnya.

Tumpang Tindih Rugikan Rakyat

Dari hasil temuan ini, Budianto selaku masyarakat ingin mempertanyakan dasar hukum Menteri Negara Agraria pada waktu itu tidak memberlakukan Peraturan Menteri Dalam Negeri  No. 5 tahun 1973 , No. 1 Tahun 1977 dan No. 3 Tahun 1985.

“Atas dasar tersebut di atas kami meminta klarifikasi kepada Bapak Menteri ATR / BPN RI, atas dasar apa Menteri Negara Agraria RI Tidak memberlakukan beberapa permendagri itu,” ucapnya.

Sebagai masyarakat, dia hanya ingin mengetahui sejarah masa lalu dan kepastianhukum yang dilakukan setelah adanya Reformasi, apakah tidak diberlakukannya peraturan tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku saat itu.

“Jadi apakah Menteri ATR punya kewenangan mencabut peraturan menteri dalam negeri, mendagri dan menteri ATR dua menteri yang berbeda, kalau menteri ATR mencabut permen ATR itu wajar, ini menteri mencabut peraturan menteri lainnya,” ulasnya.

Menurutnya, menteri ATR tidak memiliki kewenangan mencabut peraturan menteri dalam negeri. Karenanya, peraturan yang berlaku sampai saat ini, tetap peraturan menteri dalam negeri No. 5 tahun 1973 , No. 1 Tahun 1977 dan No. 3 Tahun 1985, bukan permen ATR no 9 tahun 1999.

“Peraturan dulu tumpang tindih. Kalau presiden tahu maka harapan kami  mengeluarkan diskresi untuk kerancuan putusan. Dan peresidn membatalkan SHPL (sertifikat hak pengelolaan lahan),” tandasnya. (zi)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry