Terdakwa Mustofa Kamal Pasa, Bupati Mojokerto non aktif sesaat usai jalani sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya, Jumat (14/9/2018). (DUTA.CO/Henoch Kurniawan)

SURABAYA | duta.co – Kasus dugaan suap pengurusan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang (IPPR) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) terkait pembangunan menara telekomunikasi di Kabupaten Mojokerto tahun 2015 dengan terdakwa Mustofa Kamal Pasa (MKP) akhirnya digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya, Jumat (14/8/2018).

Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Eva Yustiana mengatakan, Bupati Mojokerto (non aktif) itu memanfaatkan jabatannya untuk mengeruk keuntungan pribadi dalam menerbitkan IPPR dan IMB.  Dalam dakwaan disebutkan, awal tahun 2015, Mustofa memerintahkan Suharso selaku Kepala Satpol PP Kabupaten Mojokerto untuk melakukan penyegelan terhadap 22 tower di Mojokerto yang belum memiliki IPPR dan IMB.

“Dari 22 tower itu, 11 tower diantaranya merupakan milik PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), dan 11 tower lainnya atas nama PT Tower Bersama Infrastructure (TBG),” katanya.

Setelah melakukan penyegelan, Mustofa lantas memerintahkan Bambang Wahyuadi selaku Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) bahwa, terkait perizinan tower harus ada fee Rp200 juta untuk setiap tower. Fee itu untuk Mustofa dan fee tersebut diminta diserahkan pada orang kepercayaan Mustofa, yakni Nano Santoso Hudiarto alias Nono. Itu artinya dari ke-22 tower tersebut total fee yang bakal diperoleh Mustofa adalah sebesar Rp 4,4 miliar.

“Bambang pun menyampaikan kepada kedua perusahaan telekomunikasi tersebut bahwa tower disegel itu karena perizinannya belum lengkap, dan tidak bisa diproses sebelum ada disposisi dari Mustofa selaku bupati,” imbuh Eva.

Demi mendapatkan izin dan keberlangsungan usahanya di wilayah Mojokerto, kedua perusahaan telekomunikasi itu pun lantas mengikuti birokrasi yang dibuat oleh Mustofa.  Namun dalam realisasinya PT Protelindo harus mengeluarkan uang sebesar Rp3,03 miliar, dan PT TBG sebesar Rp2,75 miliar. Hal itu karena kedua perusahaan tersebut harus menggunakan jasa perantara dalam pengurusan izin, di mana yang masing-masing perantara ikut mengambil fee. Seperti PT TBG yang dalam pengurusannya menggunakan jasa Nabiel Titawano, Agus Suharyanto, dan Moh. Ali Kuncoro.

“Sedangkan PT Protelindo menggunakan perantara bernama Ahmad Suhami, dan Subhan Wakil Bupati Malang periode 2010-2015,” ungkap Eva.

Setelah mendapatkan kepastian bahwa kedua perusahaan bersedia membayar fee, pada Juni 2015, Bambang menemui Mustofa di ruang kerjanya untuk mendapatkan rekomendasi pendirian tower. Sebelum memberikan disposisi, Mustofa lagi-lagi menanyakan fee sebagaimana pernah disampaikan sebelumnya. Bambang mengatakan kepada Mustofa bahwa kedua perusahaan menyanggupi. Namun setelah memberikan paraf dan disposisi untuk ditindaklanjuti, Mustofa berpesan kepada Bambang agar fee secepatnya diminta.

Kedua perusahaan telekomunikasi itu pun membayar fee secara bertahap kepada para perantara, untuk diteruskan kepada Nono sesuai intruksi Mustofa. Total uang yang telah diterima oleh Mustofa dari dua perusahaan tersebut saat ditangkap KPK adalah Rp 2,75 miliar yang berasal dari PT protelindo, dan PT TBG.

“Patut diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, dlaam hal ini terkait IPPR dan IMB di wilayah Mojokerto,” pungkas Eva.

Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim I Wayan Sosiawan ini, Mustofa diancam pidana menurut Pasal 12 huruf a dan Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tetang Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 199 Tentang Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pasal 65 ayat (1) KUHP.  Selain kasus perizinan tower, Mustofa Kamal Pasa juga masih menjadi tersangka dugaan penerimaan gratifikasi selama menjadi orang nomor satu di Kabupaten Mojokerto. (eno)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry