Keterangan foto duta.co

SURABAYA | duta.co – Umat Islam semakin bijak menghadapi perbedaan awal Ramadan. Tahun ini (2022 M/1443 H), umat Islam kembali menghadapi perbedaan awal bulan Ramadan.

Bagi yang menganut hisab (perhitungan kalender), yakin awal Ramadan 2022 jatuh pada hari Sabtu, 2 April 2022. Sedangkan yang menganut rukyatul hilal (melihat bulan secara langsung), memutuskan awal Ramadan jatuh pada hari Ahad (Minggu), 3 April 2022.

“Tidak ada ‘kegaduhan’. Jamaah sangat bijak memahami perbedaan. Tidak perlu diumumkan, mereka paham. Yang ikut hisab, Sabtu puasa. Yang rukyat, karena tidak melihat hilal, baru esoknya, Ahad. In sya Allah, 1 Syawwal 1443 H (lebaran) jatuh di hari yang sama, Senin 2 Mei 2022. Jadi, hisab puasanya 30 hari, rukyat 29 hari karena saat itu hilal sangat mungkin terlihat,” demikian Abdul Wahid, Takmir Masjid Al-Ikhlas, Krian, Sidoarjo, Sabtu (2/4/22).

KH Ali Mustawa, menantu cucu Mbah Sahlan (KH Sahlan Tholib) dari PP Sahlaniyah, Sidorangu, Krian, memberikan analog menarik soal pentingnya rukyat dalam mengawali bulan puasa. Karena dasar perintah puasa itu: Pertama adalah melihat hilal Ramadan. Kedua, kalau tidak melihatnya, maka bulan Sya’ban genapkan menjadi 30 hari.

Fa-man syahida mingkumusy-syahra falyaṣum-h. Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut, surat Al Baqarah 185,” demikian Kiai Ali Mustawa pengasuh Majelis Ahad Pagi (Mahadi) Masjid Al-Ikhlas suatu ketika.

Kanjeng Nabi bersabda: ”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa (dulu) hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”

Bukan Soal NU-Muhammadiyah

Menurut mayoritas ulama, jika seorang yang ‘adl (shalih) dan terpercaya melihat hilal Ramadan, maka, beritanya dapat kita terima. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma: “Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa.”

Sedangkan untuk hilal syawal (lebaran Id) mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits:  “Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban (Idul Adha) karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”

Menentukan awal Ramadan dengan rukyat bukan dengan hisab, perlu diketahui bersama, bahwasanya mengenal hilal bukanlah dengan cara hisab. Lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi dalam mengenal hilal adalah dengan rukyat (melihat bulan langsung dengan mata telanjang).

Karena Nabi yang menjadi contoh dalam kita beragama.  ”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”

Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan: “Tidaklah mereka – yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam – mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan rukyat untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu.”

Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan rukyat walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru (bid’ah) dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Jika mencermati ini, maka, orang-orang yang tidak suka bid’ah mestinya menggunakan rukyat, pun sebaliknya yang biasa dengan bid’ah hasanah menggunakan hisab, bukankah begitu?

Rukyat dan USG

Kiai Ali Mustawa memberi analog menarik. Bahwa ibadah itu perlu kepastian, karena kepastian itulah yang melahirkan keyakinan. Itu juga berlaku bagi penetuan awal puasa. Maka, rukyat menjadi penting dalam hal ini. Sementara hisab hanya sebagai penunjang untuk menentukan kapan sebaiknya kita melakukan rukyatul hilal.

Mengapa demikian? Karena hisab tidak cukup memberikan keyakinan. “Misal, ada perempuan hamil tua. Sudah di USG (ultrasonografi), bayinya (katanya jelas) laki-laki. Lahirnya pun sudah dihisab dokter, hari Jumat. Kalau tidak lahir, dokter siap operasi caesar. Pertanyaan: Apakah suaminya berani mengedarkan undangan pada hari Kamis, sehari sebelumnya, bahwa, anak lelakinya lahir pada hari Jumat dengan nama Solihin. Apa berani? Tidak akan, karena baik perhitungan dokter dan USG, itu belum terbuktikan dengan kasat mata,” jelas Kiai Ali.

“Karena itu, mengawali Ramadan, juga bmenentukan Idul Fitri maupun Idul Adha, haruslah dengan kasat mata, melihat bulan atau rukyatul hilal. Ini yang dilakukan Nabi. Yang hisab itu bid’ah,” tegasnya sambil tersenyum.

Dan, ini, dalam perkembangannya bukan soal NU atau Muhammadiyah. Karena faktanya, banyak orang NU yang mengikuti hisab. Pun orang Muhammadiyah, banyak yang ikut penentuan awal Ramadan melalui rukyat. Waallahu’alam. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry