Keterangan foto blora.pikiran-rakyat.com

SIDOARJO | duta.co – Kabar buruk untuk keluarga miskin memasuki tahun 2023. Pemerintah mengganti program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa (DD) menjadi BLT Kemiskinan Ekstrem (KE) mulai 2023. Dampaknya, meski nilai bantuan sama, tapi jumlah penerimanya berkurang drastis, bahkan nyaris habis.

“Di RW-10 misalnya, selama ini ada 10 pemerima BLT DD, sekarang hanya dapat jatah 3 penerima saja. Itu pun dengan kriteria yang sangat ketat, istilahnya Kemiskinan Ekstrem. Bisa kita bayangkan, betapa sulitnya untuk menentukan siapa penerimanya,“ demikian Agus Suprihadi, Wakil Ketua II RW-10, Senin (9/1/23) yang telah mengikuti rapat koordinasi di Balai Desa, Sidorejo, Kecamatan Krian, Sidoarjo.

Memang, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar telah menjelaskan, bahwa, BLT Dana Desa (DD) ditiadakan karena landasan pembuatan program itu sudah tidak ada lagi, yakni pandemi Covid-19.

Karena itu, landasan penyaluran BLT harus disesuaikan dengan prioritas pembangunan nasional 2023. “Pada 2023, narasi yang mendasari BLT adalah percepatan penuntasan kemiskinan ekstrem, yang inpres-nya sudah keluar,” jelas Halim suatu ketika.

Menurut Halim, besaran nilai BLT Kemiskinan Ekstrem ini sama dengan BLT Dana Desa, yakni Rp 300 ribu per keluarga per bulan. Penerimanya adalah keluarga berstatus miskin ekstrem, yakni berpenghasilan di bawah Rp 11.633 per hari.

“Prediksi saya, jumlah penerima BLT Kemiskinan Ekstrem tidak akan sebanyak penerima BLT Dana Desa tahun sebelumnya. Sebab, jumlah warga miskin ekstrem lebih kecil dibanding jumlah warga miskin biasa,” ujarnya.

Pembiayaan program BLT KE ini akan tetap menggunakan Dana Desa. Halim bilang, tak ada batasan persentase DD yang boleh digunakan untuk program BLT Kemiskinan Ekstrem. Bisa saja satu desa menggunakan lebih dari 40 persen Dana Desa-nya untuk BLT jika memang ada penerima yang sesuai kriteria. Bisa pula satu desa tak menyalurkan sama sekali BLT karena tak ada warga miskin ekstrem di sana.

Berdasarkan data Kemendes PDTT tahun 2022, terdapat 4,4 juta warga miskin ekstrem yang tersebar di 37.869 desa. Data ini tinggal diolah pemerintah kabupaten untuk menetapkan penerima BLT Kemiskinan Ekstrem 2023.

Sebagian dari kita mungkin berpendapat. Setelah Covid-19 dinyatakan dari Pandemik menjadi Endemik oleh Pemerintah Pusat, maka Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD) di tahun 2023 itu pun bakal dihapuskan, atau pun tidak akan masuk dalam perencanaan penganggaran APB Desa di tahun depan. Tdak heran, kalau sebagian kelimpungan menghadapinya.

Siapa Warga Miskin Ekstrem?

Warga miskin ekstrem adalah penduduk desa yang memiliki penghasilan di bawah 80 persen garis kemiskinan kabupaten/kota setempat sebagaimana dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Ada pun cara menghitung kemiskinan ekstrem adalah:

 Pertama, Menghitung seluruh penghasilan tahunan anggota keluarga, menjadi jumlah penghasilan keluarga pertahun. Kedua, Jumlah penghasilan keluarga pertahun dibagi jumlah anggota keluarga, menjadi rata-rata penghasilan warga per tahun.

Ketiga, Rata-rata penghasilan warga per tahun dibagi 12, menjadi rata-rata penghasilan warga per bulan. Keempat, Hasilnya dibandingkan dengan Rp 11.633/kapita/hari (setara PPP USD 1,99 dari BPS 2022): Jika kurang dari Rp11.633/kapita/hari garis kemiskinan kab/kota maka tergolong miskin ekstrem. Jika lebih dari Rp 11.633/kapita/hari maka tidak miskin.

Selain itu, ada dua kategori warga miskin ektrem. Pertama, warga miskin ekstrem yang memiliki hampir seluruh kompleksitas multidimensi kemiskinan. Yaitu warga miskin ekstrem yang sekaligus memiliki ciri lansia, tinggal sendirian, tidak bekerja, difabel, memiliki penyakit kronis/menahun, rumah tidak layak huni, tidak memiliki fasilitas air bersih dan sanitasi yang memadai.

Kedua, warga miskin ekstrem yang masih dimungkinkan dapat melakukan aktualisasi diri untuk bertahan hidup, yaitu warga miskin ekstrem produktif (usia 15-64 tahun), tidak memiliki penyakit menahun, bukan golongan difabel.

Harus Ada Terobosan Sosial
Ustad H Bona Teguh (kiri) dalam sebuah acara.

Ustad H Bona Teguh, menyuguhkan alternatif baru untuk mengantisipasi kebijakan pemerintah tersebut. Menurutnya, bagi mereka yang (selama ini) sudah terbiasa menerima BLT DD Rp300/bulan, akan terkaget jika tahun 2023 tidak dapat sama sekali.  Di samping itu, ukuran berpenghasilan di bawah Rp 11.633 per hari, juga menjadi debatable, alias bikin repot pengurus RT-RW.

“Saya pernah salat di sebuah Masjid di Ponorogo, tempatnya terasa minus, tetapi ada gerakan namanya SHS (Sehari Sedekah Seribu). Setiap bulan, SHS ini dibuka dan hasilnya bisa menolong sesama yang tidak tercover pemerintah.  Gerakan ini sangat membantu warga, ini bisa kita terapkan di RW-10,” demikian saran Ustad H Bona yang menggawangi masalah sosial.

Hery Sucipto Achmadi, ST, Kepala Desa, Sidorejo, Kecamatan Krian, Sidoarjo memberikan apresiasi segala bentuk upaya untuk ‘menambal’ minimnya dana. Menurutnya, dalam kondisi seperti ini, kita butuh keguyuban, gotong-royong serta kepedulian antarsesama. “Saya sangat mendukung. Semoga bisa menginspirasi RW-RW lain yang sama-sama kesulitan menghadapi beleid terbaru ini,” tegasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry