“Jika ingin menyelamatkan bangsa dan negara, tidak ada jalan lain kecuali mengakhiri dualisme konstitusi ini, baik secara intra parlemen maupun ekstra parlamen. Sudah saatnya kita merebut kembali kedaulatan rakyat.”

Oleh : Zulkifli S Ekomei*

SELAIN gaduh lantaran Surat Edaran Menteri Agama tentang pengaturan pengeras suara, antre minyak goreng, mulai raibnya komoditi gula, publik juga tercengang dengan pernyataan tiga ketua umum partai politik, masing-masing Ketua Umum PAN, Ketua Umum PKB dan Ketua Umum Partai Golkar yang, tiba-tiba mengusulkan penundaan pemilu atau penambahan masa jabatan presiden.

Ajakan penundaan pemilu, ini sah kita sebut sebagai provokasi kudeta konstitusi, ternyata, mendapat sambutan beragam. Hebatnya, yang mendukung merasa aman, padahal untuk makar terhadap konstitusi. Ini karena mereka merasa terlindungi. Walhasil, perpecahan bangsa dan konflik horisontal di depan mata. Lebih mengerikan, ‘proyek’ ini dimotori partai politik. Sejarah, jelas, akan mencatatnya. Bahwa, setelah reformasi, konstitusi diacak-acak sesuai selera penguasa.

Mengubah konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden, menurut Brookings Institute adalah INKONSTITUSIONAL, karena termasuk kategori KUDETA KONSTITUSI. Gambaran Indonesia kini adalah demokrasi di Afrika tahun1990. Ini wujud kemunduran demokrasi.

Ironisnya, ketika wacana pengunduran pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden mendapatkan penolakan, serentak mereka berlomba-lomba cuci tangan, termasuk Jokowi sendiri, secara pribadi bilang bahwa usulan itu termasuk dalam mekanisme demokrasi. Lha?

Padahal demokrasi itu regulated, diatur undang-undang, bukan berarti bebas semaunya. Coba kita baca gaya respons Presiden Jokowi soal wacana jabatan tiga periode atau penundaan pemilu ini. Tahun 2019 misalnya, Jokowi bilang: “Yang ngomong ingin (menambah tiga periode red.) menampar muka saya.”

Dua tahun kemudian 2021: “Saya tidak berminat menjadi presiden tiga periode.” Dan setahun lagi, 2022: “Wacana bagian dari demokrasi. Pelaksanaan harus tunduk pada konstitusi.” Nah, Jelas kan?

Pencetus ide soal penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, seperti biasa tidak satu orang pun yang secara ksatria mengakui sebagai orang yang mengusulkan ide tersebut.

Tapi gelagat politik mengerucut pada sosok menstruasi (menteri segala urusan teratasi, sebutan yang viral di media sosial), Menmarves Luhut Binsar Panjaitan. Meski awalnya menolak disebut sebagai kompor, tapi kemudian berkomentar bahwa bahwa 73% rakyat Indonesia menurut survei puas dengan kinerja Jokowi, dan Luhut Binsar Panjaitan mempunyai big data (atau big dusta?) bahwa Indonesia akan lebih baik jika tetap dipimpin Jokowi selama 3 periode.

Data Luhut Binsar Panjaitan ini langsung tertepis Ismail Fahmi (Drone Emprit). Ia menyebutnya  salah besar, atau bohong besar. Big dusta? Memaksakan penundaan pemilu dan penundaan masa jabatan presiden sebagai kudeta konstitusi dengan cara tidak beradab (tidak beretika) dan membohongi publik sebaiknya tidak diteruskan. Apalagi memfitnah rakyat, katanya penundaan pemilu adalah suara rakyat, padahal yang benar adalah suara tirani, suara setan.

Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti mengkritik narasi Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang mengeklaim punya data tentang mayoritas rakyat tidak suka pelaksanaan Pemilu 2024. “Pendapat tersebut tidak dapat dibenarkan,” kata LaNyalla melalui keterangan persnya, Sabtu (12/3).

Menurut LaNyalla, klaim Luhut berlebihan soal banyak rakyat tidak suka pelaksanaan pemilu. Sebab, menurut data yang dimilikinya, hanya kurang sejuta akun media sosial yang aktif berbicara tentang pesta demokrasi lima tahunan itu.

Di negara demokrasi, seharusnya pejabat pembohong publik wajib mengundurkan diri. Demokrasi punya mekanisme jika pejabat melakukan kebohongan publik, maka sebaiknya mengundurkan diri. Malah di Jepang wajib hara kiri.

Menurut pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, alasan NEGARA DALAM DARURAT untuk menunda pemilu tidak bisa diterima masyarakat, tindakan ini malah bisa memicu revolusi sosial, maka sebaiknya dihindari. Karena yang darurat adalah rezim yang mau mempertahankan masa jabatan secara tidak sah.

Kegaduhan demi kegaduhan menyeruak semenjak diberlakukannya secara paksa UUD NRI 1945 atau UUD’45 palsu, memang di negara ini banyak yang tidak jelas “jenis kelaminnya” alias mengalami ketidakjelaskan dalam sistem berbangsa dan bernegara.

Dikatakan bahwa ini negara demokrasi tapi kedaulatan ada di tangan para Ketua Umum Partai Politik, musyawarah anggota hanya basa-basi, konon juga pemerintahan memakai sistem presidensial tapi semua pejabat eksekutif harus diangkat berdasar hasil “fit and proper” dari legislatif, disebut negara hukum dalam konstitusi tapi banyak keputusan berdasarkan pendekatan kekuasaan.

Atas dasar itulah tidak bisa disalahkan kalau ada yang mengatakan bahwa hanya orang-orang munafik dan tak punya nuranilah yang mampu melakukan perbuatan mengganti konstitusi karya agung para pendiri negaranya.

Seperti diketahui ciri-ciri orang munafik adalah jika berkata selalu berbohong, kalau berjanji selalu ingkar, dan jika diberi amanah selalu berhianat. Ciri-ciri yang kebanyakan fix dimiliki oleh para pemangku kekuasaan di negeri wakanda ini.

Mereka mengatakan bahwa UUD NRI 1945 sebagaimana telah mengalami perubahan pertama, kedua, ketiga dan perubahan keempat ini ada 93% isinya berbeda, kalau diubah mereka mengacu pasal 37 bahwa perubahan UUD dimungkinkan dan pasal 3 UUD, MPR menetapkan UUD, pada kasus UUD’45 palsu MPR tidak menetapkan UUDnya tapi menetapkan perubahan ke 4 melalui TAP MPR tanpa nomor tertanggal 10 Agustus 2002ah UUD’45 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 (mengutip TAP MPR tanpa nomor tertanggal 10 Agustus 2002), ini suatu kebohongan dan pembodohan yang nyata.

Dari 5 komitmen yang diputuskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, bahwa perubahan UUU’45 dilakukan dengan cara “addendum” tapi yang terjadi adalah perubahan dilakukan dengan cara amandemen, bahkan Forum Guru Besar UGM menyatakan bahwa UUD’45 tidak diubah tapi diganti, pengingkaran dari janji tertulis yang mereka buat sendiri. Perhatikan kosa kata diubah dengan diganti.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) diubah adalah dialihkan atau bisa juga ditambah dan atau dikurangi substansinya menjadi sesuatu yang berbeda. Sedang diganti adalah benar-benar mengubah substansi alias hakikat UUD 1945. 93 % isinya benar-benar berbeda. Kalau diubah, mereka mengacu pasal 37 bahwa perubahan UUD dimungkinkan dan pasal 3 UUD, MPR menetapkan UUD. Tetapi pada kasus UUD’45 palsu MPR tidak menetapkan UUDnya tapi menetapkan perubahan ke 4 melalui TAP MPR tanpa nomor tertanggal 10 Agustus 2002.

Penghianatan mereka diawali ketika mereka mengganti UUD 45 dengan UUD NRI 1945 atau UUD 45 Palsu, sehingga kedaulatan rakyat dirampas oleh partai-partai, dan bahwa yang boleh mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden adalah partai politik dan gabungan partai politik.

Saya sebut UUD’4 Palsu, karena : Namanya mirip UUD NRI 1945, aslinya UUD 45. Formatnya beda, Pembukaan dan Batang Tubuh, sementara yang asli Pembukaan, Batang Tubuh, Penjelasan, Aturan Tambahan dan Aturan Peralihan. Jumlah Babnya 16 tapi Bab IV kosong, untuk memberi kesan sama, masih 16 Bab. Jumlah pasalnya 37 tapi ada pasal yang memakai tambahan huruf, misalnya 20a, 20b, 20c dst. Menurut penelitian Prof Kaelan yang diperkuat oleh Forum Guru Besar UGM, 93% isinya berbeda

Sehingga bisa disimpulkan bahwa UUD yang diberlakukan sekarang adalah UUD baru, alias UUD 45 palsu.

Penghianatan dengan PT

Lalu kini, mereka menyempurnakan penghianatan secara terbuka dengan meminta pemilu diundur. Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR tidak ada rencana akan dilakukan perubahan UUD, tetapi amanah ini dikhianati oleh mereka sendiri, inilah bukti-bukti tak terbantahkan tentang 3 ciri-ciri orang munafik.

Akibat dari perbuatan orang-orang munafik ini, maka terjadilah dualisme konstitusi di Indonesia, untuk UUD’45 yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 dan diperkuat oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tidak ada satu produk hukumpun yang menyatakan tidak berlaku, sementara untuk UUD NRI 1945 atau UUD’45 Palsu tidak ada satu produk hukumpun yang mengesahkannya, sementara TAP MPR tanpa nomor tertanggal 10 Agustus 2002 hanya menetapkan perubahan ke empat UUD NRI 1945.

Mengingat bahwa mayoritas anggota parlemen terutama yang mewakili partai-partai politik yang bersifat oligarki tidak bisa dipercaya akan bertekad memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara maka cara ekstra parlemen yang harus dilakukan.

Mengingat juga bahwa kekuasaan itu cenderung korup,  membutakan mata dan hati. Para pemangku kekuasaan sebaiknya fokus saja sampai 2024 sesuai perintah konstitusi, tidak perlu panik dan kalap sampai mau kudeta konstitusi, memaksa berkuasa demi syahwat politik dan memperpanjang derita rakyat. Hanya oligarki dan anteknya yang merasa negeri ini baik-baik saja.

Akankah kita Biarkan?

Maka jika ingin menyelamatkan bangsa dan Negara, tidak ada jalan lain kecuali mengakhiri dualisme konstitusi ini, baik secara intra parlemen maupun ekstra parlamen. Sudah saatnya kita merebut kembali kedaulatan rakyat.

MARI BUNG REBUT KEMBALI !

*Dokter Zulkifli S Ekomei adalah penggugat UUD’45 Palsu Hasil Amendeman.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry