Dr Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo

APA yang terjadi dan menghebohkan dunia hari-hari ini bukanlah tanpa makna. Spritualitas saya menggiring pada pamahaman puncak bahwa tiada sesuatu itu yang mubazir. Mari menundukkan diri dalam ayat-ayat yang beribu tahun lalu diwahyukan kepada Rasulullah Muhammad saw. Dalam QS Ali Imran ayat 190-191,  terjumpai  firman yang menegaskan pandangan para hamba: “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.  Terang mencahayai pula dalam selubung yang amat substantif di QS Shad: 27: Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah.

Kesadaran iman  menuntun pengambilan sikap terhadap situasi kekinian yang semua orang menyuarakan “makhluk super renik” itu melebihi dari munajatnya kepada Allah swt. Sengaja saya tidak menyebut nama virus dimaksud karena tidak hendak menambahkan deret perhatian sedemikian melebihi batas dalam mengagungkan asma Allah dan Rasul-Nya. Bukan berarti lantas ini menjadi tahapan tidak peduli melainkan ingin berikhtiar untuk mengutamakan penyebutan Rabbnya daripada dirinya. Saya mencoba mengkristalkan jiwa untuk terus optimis bahwa kondisi sekarang ini niscaya sarat pesan-pesan  positif  bagi umat manusia.

Realitas saat ini jangan sampai membuat manusia memasuki lahan kosong kebingungan sambil mencemooh siapapun kecuali seruan kebaikan. Kita “beruzla di rumah” dan “mengumandangkan dzikir” bersama keluarga, adalah momentum  sempurna. Ini terutarakan karena saya tidak mau berada dalam sindiran di kitab Shaidul Khatir karya fenomenal Ibnul Jauzi alias Abu al-Faraj ibn al-Jauzi (508 H-597 H) yang hidup di era khalifah Abbasiyah, Al-Mustadi (1142-1180 M) dan  guru besar utama mazhab Hanbali di Baghdad. Hanya kejahiliaan apabila ada manusia mengumpat sebuah bencana sambal mengutip Hadist Riwayat Muslim: Janganlah mencaci bencana karena sesungguhnya Allah yang menetapkan bencana tersebut.

Beliau heran apabila melihat suatu kaum yang terserang wabah  ternyata lebih mengetahui mengenai keadaan sebagaimana para ilmuwan mengemukaan analisisnya tanpa merenungi adanya kuasa Tuhan. Pada titik inilah saya mengapresiasi langkah Gubernur Jatim yang menyelenggarakan Istighosah Kubro secara online. Suatu ikhtiar yang secara teologis  menggenapkan langkah-langkah humanis-birokratis yang telah dilakukannya. Inilah kelebihan kepemimpinan yang mengenal sholawatan.

Dengan “doa online”  urusan “ontran-ontran virus” ini tidak menjerembabkan rakyat. Hal ini terbangun dari kekhawatiran banyaknya kesimpangsiuran tentang “kasus senyatanya” pada level global. Sebagian informasi yang keluar dari “rahim medsos” acapkali  penuh muslihat karena tidak ada kecukupan data.  Mengikuti bahasa Ibnu Jauzi dalam kitab Al-Muntaqa’ An-Nafis min Talbis Iblis, kehidupan manusia mudah digiring ke lika-liku talbis: “tipu muslihat, perangkap yang menjerumuskan dengan rayuan kejahatan yang ilutif”. Peringatan atas skenario talbis iblis yang paling membekas dalam “kontrak ketuhanan” ada dalam QS Thaha ayat 120: kemudian setan membisikkan (pikiran jahat) kepadanya dengan berkata: Wahai Adam! Maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian (khuldi) dan kerajaan yang tidak akan binasa? Inilah bisik-bisik talbis yang siapapun kalau tidak fokus  akan terjerumus.

Khusus pada lingkup ekologis, saya menyaksikan bahwa kahanan sekarang ini sejatinya menguntungkan bumi. Industri dan manusia melangkah menepikan awak dan mengendapkan pikiran tentang keganasa sebuah virus yang tidak elok apabila ditantang penuh pongah. Manusia yang berkewarasan memilih berikhtiar meminggirkan jiwa-raganya dengan sejenak rehat di  rumah. Jalanan lengang,  kantor, pergudangan, mall-mall “disenyapkan” sehingga memberikan ruang langit  menampakkan keasliaanya: membiru dalam damai. Debu tidak bertebaran, emisi tidak menggelayut, cerobong asap tidak lagi membubung mengangkasa, limbah cair tidak digerojok ke sungai maupun tanah. Ulah manusia diberhentikan oleh virus karena dengan  penegakan hukum atas kejahatan lingkungannya selama ini tdak mempan.

Bukankah  ini merupakan solusi terbaik untuk mengembalikan bumi pada posisi tidak dinodai oleh manusia-manusia brutal yang tega mengotorinya? Tetapi di tengah keriuhan ini masih ada parlemen yang sibuk bersidang untuk membahas rancangan undang-undang yang hendak  menjadikan negarai “morakhir pemerintahan”. Izin yang  sentralistik mengakibatkan sabotase kekayaan alam atas nama legalitas yang tidak bermoral. Pembahasan RUU yang berada dalam situasi sosial yang kalut berpotensi menjadi ajang pasar gelap menggumpalkan kekuasaan. Cobalah penguasa mengerti bahwa tugasnya masih belum maksimal dalam mengatasi  “safarinya sang virus”. Kini harga-harga kebutuhan pokok termasuk sabun cuci tangan ataupun masker saja rakyat mengernyitkan pesan tentang keberadaan pemerinatahan.

Eling lan waspodo serta tidak salah bertindak seperti peribahasa Madura “mella’e pettengnga bingong e’leggana”: menatap di kegelapan, bingung di keluasan. Ungkapan yang menggambarkan hilangnya pertimbangan nalar menghadapi bentang cakrawala “virus” yang terindikasi dijadikan jurus mabuk “menganggurkan rakyatnya”. Bukankah semua ada waktunya seperti ejaan fabel bagus Mitch Albom, The Time Keeper (2012), Sang Penjaga Waktu. Akhirnya renungkanlah Hukum ke-47 dari buku The 48 Laws of Power  karya Robert Greene (2007): jangan melebihi sasaran yang telah Anda tentukan. Ya … pembaca tajalli: mari memberi kesempatan kepada bumi ini sejenak istirah, leyeh-leyeh  memproduksi oksigen, udara, dan air yang segar.

*Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

 

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry