JOMBANG | duta.co – Kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu putra kiai tersohor di Jombang, nampak belum ada titik terang dan kelar. Buktinya, berkas perkara yang diajukan pihak Polda Jatim, kepada kejaksaan, dikembalikan untuk dilengkapi atau P-19. Dan tak tanggung-tanggung, pengembalian berkas dari kejaksaan itu, sudah lima kali terjadi lantaran dinilai tidak cukup alat bukti.

“P-19 nya tiga kali dan koordinasinya dua kali,” ungkap Poerwanto, kuasa hukum MSA yang merupakan salah satu putra kiai tersohor di Jombang, saat dikonfirmasi duta.co, Minggu (20/6/2021).

Dijelaskan, dalam berkas kasus yang diajukan kepolisian terdapat tiga alat bukti. Diantaranya, hasil visum, saksi-saksi dan flashdisk. Akan tetapi oleh kejaksaan, berkas tersebut dikembalikan karena kejaksaan menemukan fakta jika korban berinisial M sudah dewasa. Sehingga, pasal yang dijeratkan pada MSA, yakni 284 KUHP dan 285 KUHP tidak terpenuhi.

“Ditemukan fakta, bahwa korban berinisial M sudah dewasa. Sehingga, jaksa menilai tidak memenuhi dan unsur kekerasan tidak ada,” jelasnya.

Selain itu, imbuhnya, pada penerapan Pasal 294 KUHP, yakni persetubuhan yang dilakukan orang di dalam penguasaan, semisal guru terhadap murid, pun tidak terbukti. Ditambah lagi, alat bukti berupa flashdisk yang di dalamnya terdapat rekaman komunikasi antara korban dengan tersangka, ternyata blank dan error.

“Dari 4 orang saksi yang diajukan tadi, nyatanya saat diperiksa di kepolisian, mereka menyatakan tidak pernah mengetahui perbuatan tak senonoh yang dilakukan MSA itu. Dan bukti flashdisk saat itu dibuka di Labfor Polda, error dan blank. Itu rekaman suara,” imbuhnya.

Kemudian, katanya, alat bukti visum, bahwa saat itu korban M menyatakan jika kejadian itu terjadi pada Mei 2017. Tanpa sebab apa-apa, lanjutnya, pada tahun 2018, korban M diantar seseorang meminta untuk diadakan visum sendiri.

“Tanpa ada laporan polisi. Tanpa ada perintah dari penyidik untuk diadakan visum. Mereka memvisum dirinya sendiri,” terangnya.

Ia mengaku tidak tahu, apa yang mendasari korban M menjalani visum sendiri dan siapakah yang mengantarnya. “Siapa yang mengantar, belum jelas. Yang jelas, korban M tidak datang sendiri saat visum,” jawabnya.

Lalu tahun 2019, masih kata Poerwanto, kasus dugaan tersebut dilaporkan ke Polres Jombang, hingga MSA ditetapkan sebagai tersangka. Pasca pelaporan itu, dilakukan visum terhadap korban M. Namun, kata Poerwanto, hasil visum tahun 2019 dengan visum 2018, tidak sama.

“Hasil visum pada 2019 berbeda sangat jauh dengan 2018. Hasil visum 2018, bahwa terjadi bekas bersentuhan dengan benda tumpul sampai jam 6. Tapi hasil visum 2019 menyebutkan sampai jam 13.00,” katanya.

Oleh kejaksaan, dua hasil visum itu dipertanyakan. Karena terjadi perbedaan, pihak kepolisian pun meralatnya.

“Ralatnya itu pun salah. Secara formal, ini harus dikeluarkan instansi atau rumah sakit umum atas permintaan penyidik. Itu nggak ada kop rumah sakit umum dan tidak ada materai di bawahnya,” lanjut Poerwanto.

Kemudian, imbuhnya, kejaksaan meminta agar penyidik kepolisian melengkapi tiga alat bukti terkait dugaan perbuatan asusila yang dilakukan MSA.

“Dan sampai sekarang tidak pernah dilengkapi. Lalu saat ini, kami memperoleh informasi jika Polda Jatim melengkapinya dan akan diajukan ke kejaksaan yang keenam kali,” pungkasnya.

Poerwanto menyatakan, kondisi pengembalian berkas hingga 5 kali tersebut, membuat posisi MSA tergantung alias tidak memiliki kepastian hukum. Bahkan, pihaknya sudah mengirim surat ke Kapolda Jatim pada 22 Maret 2021.

“Dalam surat itu, kami meminta agar dilakukan gelar perkara khusus. Tapi, tidak ditanggapi. Kemudian, kami kembali mengirim surat perihal yang sama ke Ditreskrimum Polda Jatim pada 11 Mei 2021, dan sampai sekarang belum ada tanggapan,” kata Poerwanto.

Selain itu, Poerwanto menanyakan, apa yang membuat pihak Polda Jatim bersikeras melengkapi berkas tersebut agar tercapai P-21. Mengingat, pihak kejaksaan sudah beberapa kali mengembalikan berkas perkara yang diajukan oleh kepolisian.

“Wajar jika kami mempertanyakan, ada apa ini?. Karena ketika berkas dikembalikan atau masih P-19, maka kewenangan kembali ke pihak kepolisian. Dan sesuai Pasal 109 ayat 2 KUHAP, polisi bisa menghentikan penyidikan terhadap kasus ini, karena tidak diperoleh bukti yang cukup. Sehingga, kami mensinyalir kasus yang menjerat MSA dinilai rekayasa dan fitnah,” tandasnya. (dit)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry