“Dalam kondisi negara dan rakyat sedang menghadapi perang hidup mati melawan pandemi Covid-19, koruptor kita masih tega menunjukkan “kinerja’ kriminalitasnya secara spektakuler dan mengerikan.”

Oleh: Abdul  Wahid*

BULAN November adalah bulan menjelang penghujung tutup tahun. Dalam ranah ini, banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam diri setiap elemen bangsa. Dan beberapa pertanyaan yang muncul di jelang pergantian tahun 2021 ini, apakah tahun depan masyarakat dan bangsa ini akan menjadi lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya? Atau  mampukah bangsa ini berkontribusi positip lebih baik dibandingkan sebelumnya?

Setiap elemen bangsa yang berkomitmen pada terwujudnya kepentingan besar Indonesia, tentulah mengidealisasikan kalau di tahun 2022 akan lebih baik dibandingkan tahun 2021.

Salah satu kepentingan besar bangsa yang diidealisasikan tahun 2022 adalah berkurangnya penyakit yang selama ini banyak disebut oleh para pakar sudah membudaya, yakni korupsi. Kalau penyakit penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) ini bisa terminimalisasikan, maka kepentingan fundamental rakyat seperti kesejahteraan, kecukupan pangan untuk orang miskin, egalitarianisme edukasi, dan hak-hak public lainnya akan bisa terwujud.

Harapan terhadap terwujudnya kepentingan fundamental itu logis, pasalnya kerugian akibat korupsi tergolong spektakuler.  Sebagai sampel misalnya, penyidik nonaktif KPK Andre Nainggolan membeberkan fakta soal korupsi bantuan sosial pada masa COVID-19. Kerugian akibat korupsi bansos disebutnya mencapai Rp2 triliun.

Dalam kondisi negara dan rakyat sedang menghadapi perang hidup mati melawan pandemi Covid-19, koruptor kita masih tega menunjukkan “kinerja’ kriminalitasnya secara spektakuler dan mengerikan.

Itu menunjukkan, bahwa koruptor telah mengeroposi uang negara dalam jumlah sangat besar. Mereka  telah “menggarong” uang negara yang mestinya bisa digunakan menjaga keseimbangan kesulitan ekonomi yang dihadapi rakyat.  Rakyat dirampok, yang para perampoknya mestinya bertanggungjawab menjaga kepentingan asasinya.

Ulah koruptor itu tidak boleh dibiarkan. Perang terhadap koruptor harus bermodus perang bubat atau model pemberangusan dengan mengerahkan segala kemampuan. Segala usaha wajib ditunjukkan untuk memeranginya. Tidak boleh ada kata santai, menunda, atau setengah hati untuk korupsi.

Mahatma Gandi pernah berpesan,  “You may never know what results come of your action, but if you do nothing there will be no, atau  anda mungkin tidak pernah tahu hasil dari usaha-usaha yang anda lakukan, tetapi jika anda tidak melakukan sesuatu, Anda tidak mungkin mendapatkan hasil”.

Pesan itu sebenarnya mengingatkan pada setiap orang atau pengemban lembaga strategis negara supaya tidak suka menyerah dalam menjawab tantangan, dan sebaliknya berusaha menunjukkan kemampuan dirinya untuk melahirkan sejarah, baik bagi diri maupun masyarakat dan bangsanya.

Kata kunci yang disampaikan Gandhi itu terletak pada “usaha” atau pewujudan “kinerja”, yang mengajak pada setiap manusia di bumi, apalagi yang jelas-jelas mempunyai kapabilitas moral, agama, skill, atau keistimewaan lainnya demi tejadinya perubahan besar, khususnya perubahan dari kondisi yang membebani masyarakat menjadi atmosfir yang mencerahkan masyarakat.

Salah satu kata yang layak dijadikan sebagai tema kampanye etik dan yuridis di tahun 2022 nanti, adalah kata “usaha” maksimal, khususnya “usaha” dari kalangan elite strategis bangsa untuk menghabisi, minimal menutup semua celah-celah, Lorong-lorong, atau kondisi kegiatan apapun yang dimungkinkan akan digunakan  sebagai zona eksperimentasi dan mengembangkan korupsi.

Upaya maksimal itu juga dapat diidentikkan dengan “perang bubat” atau perlawanan habis-habisan terhadap koruptor. Koruptor tidak boleh didiamkan, apalagi sampai diamini dan ditleransi untuk memasifikasi  kelicikan dan keserakahannya. Kelicikan dan keserakahan inilah dua virus yang bisa membuat banyak orang yang semula bermoral dan pintar menjadi manusia berklaster pander dan robot.

Korupsi di negeri ini benar-benar “membumi”, sehingga perang untuk mengalahkannya pun wajib totalitas, pasalnya  banyak lobang basah tersedia bagi siapapun yang mencoba mendisain dirinya menjadi bibit-bibit koruptor yang “profesional”.

Setiap elemen negara boleh saja mengaktifkan diri dalam diskursus secara teoritis tentang makna penyalahgunaan kekuasaan atau malversasi struktural dan unsur-unsurnya, serta sifat-sifat korupsi, akan tetapi penguatan ide-ide cerdas ini saja belum cukup untuk membabat menjamurnya korupsi.

Yang diperlukan di tahun 2022 adalah perang berkelanjutan dan membara untuk memusuhi “bajingan berdasi” itu.  Masalahnya, benarkah kita ini sungguh-sungguh menjadikan penyalahgunaan kekuasaan atau praktik malapraktik jabatan sebagai obyek perang bubat?

Bukankah selama ini peringkat “prestasi” korupsi kita masih tidak mau kalah dengan sejumlah negara lain yang rapor korupsinya terbilang spektakuler? Bukankah kita masih menyukai praktik penyelenggaraan kekuasaan yang bervirus memudahkan jalan berkorupsi daripada menutup lubang-lubang yang meniscayakan terjadinya korupsi?

Gugatan tersebut berangkat dari gampangnya ditemukan sejumlah atau modus operandi penyelingkuhan kekuasaan yang sering mengalami “pembaruan” dan “pembauran” (terintegrasi dan sistemik).

Terbaca masih kuatnya kondisi pemerataan korupsi di lembaga-lembaga strategis negara. Mereka yang dipercaya mengelola keuangan di lembaga-lembaga ini, bukannya memproteksi penggunaan keuangan negara, tetapi justru disalahalamatkan penggunaannya.

Itu menunjjukkan, kalau para penyelingkuh kekuasaan ini tidak pernah kehilangan kelihaiannya dalam mengaplikasikan muslihat terkultur dan terstruktur yang cukup ampuh dalam memproduksi ruang yang sangat longgar untuk menjarah atau menyalahalamatkan keuangan negara, baik yang bersumber dari APBN maupun APBD.

Aplikasi muslihat yang bermodus terkultur dan terstruktur merupakan bagian dari strategi besar oknum-oknum koruptor dalam mematahkan  atau mengimpotensikan setiap perang bubat komunitas pejuang anti korupsi. Mereka yang sudah terbiasa hidup dalam bingkai muslihat korupsi, tentulah tidak menginginkan kejayaan dan kekayaan dari korupsinya terusik dan tereliminasi.

Kesadaran etis, yuridis, dan religiusitas profetis, serta kecerdasan intelektualitas pejuang anti korupsi dari “klaster” apapun, khususnya di ranah apparat penegak hukum menjadi modal utama perang bubat mengalahkan setiap orang atau kelompok penyalahguna kekuasaan.

Kesadaran itu bisa ditunjukkan dalam bentuk penguatan dan progresifitas diri setiap pejuang untuk tidak tergoda, apalagi sampai terjerumus dalam lingkaran setan politik dan ekonomi yang dikonstruksi para koruptor, di samping secara kontinuitas menggalang aksi-aksi ke segala lapisan sosial  untuk menjadikan koruptor sebagai “pembunuh utama bangsa”. (*)

*Abdul  Wahid adalah Pengajar program pascasarjana Unisma Malang dan Penulis buku tentang hukum dan social.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry