Drs Muhammad Said Utomo saat masih menjadi Ketua PC GP Ansor Pasuruan. (FT/IST)

SURABAYA | duta.co –  Hebat! Belum lahir, Ikatan Alumni GP Ansor sudah bikin gaduh. “Kepada para penggagas, kami harap ini untuk segera diakhiri. GP Ansor butuh ide gagasan lain untuk kebesaran organisasi, bukan gagasan yang belum lahir saja sudah bikin gaduh dan tidak produktif,” begitu komentar Syafiq Syauqi, Ketua GP Ansor Jatim di berbagai media.

Sementara, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PP GP Ansor, Abdul Rochman mengatakan, secara keorganisasian, GP Ansor yang merupakan organisasi pemuda di bawah Nahdlatul Ulama (NU) tidak mengenal adanya istilah Ikatan Alumni (IKA).

“GP Ansor telah memiliki peraturan maupun struktur organisasi yang jelas dan resmi. Dan, istilah ikatan alumni itu sama sekali tak dikenal di organisasi GP Ansor. Sehingga, penggunaan istilah dengan membawa-bawa nama GP Ansor jelas sangat tidak tepat,” ujar Adung.

Drs Muhammad Said Utomo, panitia ‘Temu Kangen dan Halal Bihalal’, yang terselenggara atas kerjasama PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah) dan Alumni GP Ansor ini, juga mengaku heran, kok bisa sehebat ini dampak dari temu kangen tersebut.

“Kok tiba-tiba banyak yang kebakaran jenggot, merasa terancam? Saya jadi ingat sejarah kelahiran Baginda Rasul. Sebelum beliau lahir, kafir Quraisy gaduh duluan. Dan, hampir seluruh kelahiran orang baik, memang bikin gaduh , bahkan fitnah datang bertubi-tubi. Ingat kelahiran Nabi Isa, semua gaduh, ada yang menudingnya anak zina,” tegas Pak Said, panggilan akrabnya kepada duta.co, Kamis (16/6/22) sambil tersenyum.

Masalah Serius

Mantan Ketua PC GP Ansor Pasuruan yang juga alumni jurnalis ini, kemudian menjlentrehkan satu persatu masalah fundamental dalam berbangsa dan bernegara. Menurutnya,  ini harus mendapat perhatian bersama.

Pertama, bangsa ini menghadapi problem serius. Ketatanegaraan kita sudah sangat liberal. Ini telah menjadi keprihatinan para masyayikh. Munas Alim-Ulama dan Konbes NU di Kempek, Cirebon, tahun 2012, para masyayikh  memberikan warning keras, agar konstitusi kita kembali ke khitthah 1945. Ironisnya, tidak ada yang peduli dengan keputusan ini, termasuk mereka yang merasa gaduh dengan lahirnya IKA,” jelasnya.

Kedua, perlu ada format baru atau re-deradikalisasi. Selama ini deradikalisasi sudah menjadi komoditi politik. Yang tidak cocok, disebut radikal. Pengajian dibubarkan karena dianggap Wahabi. Ini berbahaya. Hanya akan melahirkan kader emosional, minim literasi, minim pengetahuan. Ujungnya merasa paling Indonesia, berbahaya,” tegasnya.

Masih menurut Pak Said, bahwa, ancaman itu ada, pasti. “Sejak zaman Mbah Hasyim Asy’ari, Wahabi dan Khilafah sudah ada. Tetapi, NU memiliki cara tersendiri untuk ‘menjinakkan’ mereka. NU memiliki ratusan ribu santri handal untuk menghadapi mereka. Dari kualitas maupun kuantitas, santri kita jauh lebih unggul. Maka, jangan ‘anut-gubyuk’, di mana ujungnya kepentingan politik. Ini yang terjadi sekarang,” tegasnya.

Menjawab pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PP GP Ansor, Abdul Rochman, bahwa, GP Ansor yang tidak mengenal istilah alumni, Pak Said pun tersenyum.

“Ya pastilah! Masak GP Ansor mau ngurusi alumni. Alumni itu eksponen, mantan, atau kalau dalam TNI-Polri kita kenal purnawirawan. Misalnya, ada Persatuan Purnawirawan Angkatan Laut (PPAL). Ini sah-sah saja, dan itu bagian dari hak paling asasi. Melekat, tidak bisa dipisahkan. Masak begini saja gak paham,” tegasnya.

Contoh lagi, jelasnya, ada Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI), di situ ada nama Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Mereka justru bisa melakukan sinergitas, bagaimana bisa memberikan sumbangsih, ketika organisasi mengalami hambatan. “Bukan malah gaduh, minta berhenti. Ada apa? Apa ada ghonimah atau harta rampasan perang yang terancam? Jadi, justru kegaduhan itu yang menimbulkan tanya: Ada apa?,” pungkasnya. (zi)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry