Oleh : ABDUL HALIM FATHANI*

PADA masa pandemi covid 19 ini, kita semua bersama dengan pemerintah sepakat untuk terus melakukan berbagai ikhtiar dalam rangka mengurangi penyebaran Covid-19. Salah satunya dengan melakukan protokol kesehatan secara ketat dan disiplin. Di antara bidang yang terdampak adalah dunia pendidikan. Namun pada saat yang bersamaan, juga jelas berdampak pada dunia kesehatan dan ekonomi.

Di sisi lain, dengan adanya masa pandemi Covid-19 ini, kita juga dihadapkan pada tantangan baru, yaitu membangun mental baru dalam menjalani kehidupan. Ambil contoh, misalnya tentang belajar. Belajar yang biasanya, dalam pengawasan guru, sekarang berubah. Saat ini belajar dilakukan dari rumah, dalam pengawasan orang tua. Bahkan, kadang-kadang tanpa pengawasan. Belajar dilakukan secara daring.

Saat ini, kita belajar itu tidak lagi dibatasi ruang dan waktu. Belajar tidak lagi perlu di ruang kelas yang khusus-bagus, tidak perlu ruang seminar yang mewah. Saat ini, belajar bisa dilaksanakan di mana saja. Di dalam rumah, di teras rumah, di dalam mobil, di serambi masjid, di kantin, di mana pun. Ruang tidak hanya identik dengan ruang yang offline. Sekarang, ruang bias hadir secara online. Ruang online ini, bisa buka tutup kapan saja, tergantung kita. Kapan pun, kita bisa belajar. Siang, sore, malam, silakan saja. Bisa belajar secara langsung, atau melalui rekaman.  Semuanya tersedia.

Saat ini, kita semua merasakan, bahwa materi belajar, sangat melimpah ruah. Tinggal pilih. Ingin mempelajari bidang apa. Sesuai dengan kebutuhan dan keinginan kita masing-masing. Bahkan, kita semua merasakan, sering dikejar-kejar oleh materi yang menarik untuk dipelajari. Lalu, bagaimana seharusnya belajar itu dilakukan bagi generasi baru di masa baru, masa pandemi ini?

Generasi Layang-layang

Kita tahu, di dunia ini terjadi siklus manusia sebagai makhluk hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya. Generasi lama menuju generasi baru. Generasi dulu hingga generasi sekarang. Generasi X, generasi Y, generasi Z, dan seterusnya.

Di sisi lain, keadaan zaman juga terus berkembang secara dinamis. Zaman dulu, zaman sekarang, zaman akan datang. Contoh: keadaan sekarang saja -saat ini masyarakat dunia sedang berada pada masa pandemi covid-19 yang saat ini sedang pada masa transisi menyiapkan diri menuju masa kenormalan baru (new normal).

Masing-masing generasi tersebut, tentu memiliki karaktersistik unik sendiri-sendiri. Menyesuaikan kondisi di zamannya. Tugas manusia adalah terus belajar dan belajar terus. Mari kita ingat ungkapan yang diucapkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib: Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, Karena mereka hidup bukan di zamanmu. Ungkapan ini penting untuk diresapi dan dijadikan pegangan para orangtua dan guru. Orangtua dan guru, sejatinya adalah pendidik.

Dalam naskah pidatonya pada saat pengukuhan guru besar bidang Ilmu Sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya, Sabtu, 29 Februari 2020 yang lalu, Profesor Doktor KH.Asep Saifuddin Chalim, memaparkan satu kata kunci penting tentang sikap terhadap generasi milenial. Saat pengukuhan tersebut, juga dihadiri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gubernur Jawa Timur, dan undangan lainnya.

Melalui pidatonya berjudul Model Pendidikan dalam Mengatasi Problematika Masyarakat Masa Kini dan Akan Datang tersebut, Profesor Asep membagikan pengalaman dan strategi yang diterapkan oleh pondok pesantren Amanatul ummah. Secara umum yang dilakukan Kyai Asep adalah tetap berpegang teguh pada tradisi lama yang konservatif, namun juga tetap mempertimbangkan kebutuhan generasi milenial dalam batas yang wajar.

Ibarat orang bermain layang-layang yang bisa terbang tinggi jika dikendalikan, bukan dilepas. Pondok pesantren Amanatul ummah memiliki harapan untuk menerbang-tinggikan para santri untuk menggapai bintang di langit tetapi dalam pengendalian pesantren. Diterbangkan tinggi-tinggi, tetapi tetap dalam pengendalian. Inilah peran pendidikan. Tidak dilepas begitu saja.

Layanan pendidikan yang diberikan kepada generasi milenial pada prinsipnya memahami karakter peserta didik yang nota bene merupakan kelompok generasi milenial yang ingin bebas serta instan dan cenderung bermain gadget. Paradigma yang dibangun harus berada pada posisi take it for granted. Kita tidak boleh membiarkan anak didik generasi milenial terbawa arus liberalisasi ala barat yang tidak sesuai dengan falsafah hidup ketimuran kita.

Selain memposisikan diri sebagai pendidik yang bertugas untuk mentransfer ilmu pengetahuan, para pendidik juga harus mampu membangun rambu-rambu ajaran agama etika norma dan nilai-nilai luhur bangsa yang memimpin peserta didik sebagai warisan the founding fathers.

Artinya lembaga pendidikan harus memposisikan diri sebagai lembaga pengendali arus perubahan zaman yang semakin cepat. Informasi seperti yang kita rasakan sekarang ini, prinsip yang harus dipegang teguh, namun tetap memberikan ruang akomodasi perkembangan bagi generasi saat ini untuk dapat merespon dalam menghadapi tantangan.

Walhasil, satu kata kunci yang harus dipegang adalah, kita semua harus membangun mental sebagai pribadi Pembelajar. Kita semua, kapan pun dan di mana pun, sudah semestinya memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.

Belajar tidak perlu menunggu waktu khusus. Kapan saja kita bisa melakukan. Belajar tidak perlu ruang khusus. Belajar bisa dilakukan di mana saja. Yang penting, mental kita, harus mental Pembelajar. Belajar itu kewajiban bagi setiap individu manusia. Sejak di buaian hingga liang lahat.

Belajar dari layang-layang. Ya dilepas tetapi tetap dikendalikan. Semoga kita semua mampu menghadapi perkembangan zaman dengan tetap memegang teguh prinsip-prinsip yang sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia khususnya umat muslim.

*Penulis adalah Pemerhati Pendidikan dan Dosen Pendidikan Matematika Universitas Islam Malang.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry