Dr H Hidayat Nur Wahid (ist)

JAKARTA | duta.co – Setelah para kiai yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pesanten Muadalah (FKPM), Jumat (30/12) melakukan kritik keras terhadap kebijakan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas, terkait pengukuhan Majelis Masyayikh, kini Anggota Komisi VIII DPR RI sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Dr H Hidayat Nur Wahid, juga memberikan kritik tajam.

Jika FKPM dan Kiai yang menjadi Tim Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) lebih menyoal tentang prosesnya, Dr H Hidayat Nur Wahid justru melihat dari representasi dan proporsinya yang jauh dari semangat UU Pesantren.

HNW, sapaan akrabnya, melihat belum terpenuhinya asas representatif yang harus mewakili 3 jenis pesantren yang diakui di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

Padahal, menurut HNW, hal tersebut sangat dipentingkan, apalagi ini sebagai bentukan awal, yang akan dirujuk dan menjadi pola untuk yang berikutnya.

Mestinya hadirkan ‘sunnah hasanah’ atau tradisi yang baik, benar dan adil, dengan mengakomodasi secara proporsional representasi dari 3 jenis Pesantren yang diakui oleh Pasal 2 ayat (2) UU Pesantren, yakni Pesantren yang mengkaji kitab kuning (Tradisional), Pesantren dengan sistem Muallimin (Modern) dan Pesantren yang padukan antara Ilmu Umum dan Agama.

“Saya mengapresiasi dibentuknya Majelis Masyayikh, serta ditetapkannya para Kiai dan Nyai sebagai anggota Majelis Masyayikh. Namun, baru saja diumumkan, sudah mendapatkan masalah. Justru komunitas Pesantren yang mengkritisinya, karena bila diperhatikan komposisi Majelis Masyayikh yang terpilih, maka itu belum merepresentasikan tiga jenis pesantren yang diakui UU Pesantren,” papar HNW.

Kemungkinan yang ada baru mewakili dua dari tiga jenis saja, yaitu Pesantren Salafiyah (yang mengkaji kitab kuning) dan Pesantren yang mengintegrasikan antara pendidikan Agama dengan pendidikan Umum. Sementara yang jenis Muallimin (Modern), di mana pesantrennya juga besar dan banyak santrinya, malah belum terwakili sama sekali.

“Mestinya Majelis Masyayikh sesuai dengan prinsip Ahlul Halli wal Aqdi, merepresentasikan secara adil dan proporsional semua jenis Pesantren yang diakui oleh UU Pesantren,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (30/12).

HNW mengatakan bahwa UU Pesantren mengklasifikasikan adanya tiga jenis pesantren, yakni pesantren yang mengkaji kitab kuning, pesantren berbentuk Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Mualimin; dan pesantren yang terintegrasi dengan pendidikan umum.

“Ini menunjukkan bahwa UU Pesantren dibuat dan disepakati berlaku untuk semua kalangan, bukan hanya golongan tertentu saja,” ujarnya.

Sesuai realita keragaman Pesantren dan perkembangannya, sejak Indonesia belum merdeka hingga UU Pesantren disahkan pada tahun 2019. “Saya melihat dari anggota Majelis Masyayikh yang terpilih, tidak ada yang berasal dari pesantren dengan pola pendidikan mualimin. Padahal itu diakui oleh UU Pesantren, dan faktanya banyak juga Pesantren dengan pola Muallimin itu,” tambahnya.

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menambahkan bahwa peraturan perundang-undangan memang tidak secara spesifik mengatur harus adanya keterwakilan tersebut, tetapi di Negara Pancasila yang mempraktekkan demokrasi, dan Agama Islam yang perintahkan pemenuhan keadilan, tentu saja asas perwakilan dan musyawarah yang ada dalam sila keempat Pancasila harus dirujuk.

Oleh karena itu, HNW berharap Menteri Agama dan AHWA segera mengkoreksi kebijakannya dengan menambahkan jumlah anggota majelis masyayikh agar merepresentasikan 3 jenis pesantren yang diakui oleh UU Pesantren.

“Apalagi, Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren menyebutkan bahwa majelis masyayikh minimal terdiri dari 9 orang dan maksimal 17 orang,” pungkasnya.

Dan sekarang, imbuh HNW, baru ditunjuk 9 orang saja, yang kemungkinan baru mewakili 2 dari 3 jenis Pesantren yang diakui oleh UU dan yang secara nyata ada dan diakui kiprahnya oleh Masyarakat.

“Saat ini sudah ditetapkan 9 orang anggota Majelis Masyayikh. Maka demi kemaslahatan Pesantren dan tegaknya UU secara adil dan benar, sewajarnya bila Menag dan AHWA segera melakukan koreksi dan perbaikan, dengan menambahkan anggota Majelis Masyayikh hingga dapat memenuhi asas keadilan dan representasi semua jenis pesantren yang diakui di dalam UU Pesantren,” pungkasnya. (net)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry