“Fenomena ini tidak serta merta terjadi begitu saja, akan tetapi ada semacam kegagalan dalam menjaga atau merawat peninggalan nenek moyang yang hanya dimaknai sebagai jimat belaka. Adalah tepat apabila Nahdlatul Ulama memegang teguh prinsip ‘Muhafadzoh Alal qadim Assholih Wal Akhdzu bil Jadid Al Aslah’”

Oleh: Ahmad Karomi*

LEMAHNYA generasi sekarang terhadap penguasaan bahasa daerah (pribumi) menjadi persoalan penting. Ini seakan membenarkan bahwa pemerintah telah gagal mengajarkan cinta bahasa daerah masing-masing. Berapa banyak orang Jawa yang tidak faham aksoro jowonya, dan Sunda yang lupa dengan bahasa Sundanya. Padahal, sebagaimana adagium ‘man fahima lughata qaumin amina min syarrihim’ (siapa yang faham bahasa suatu kaum, ia akan aman dari marabahaya) telah menegaskan bahwa segala sesuatu bermula dari bahasa, membaca, lalu karya tulis. Permasalahannya adalah bisakah kita membaca buku tanpa bekal pengetahuan bahasa buku tersebut?

Ratusan ribu manuskrip (buku kuno), karya tulis para tokoh bangsa ini telah diboyong negara asing untuk dipelajari dan diunduh ilmunya. Ironisnya, kita malah berbangga hati dengan segala sesuatu yang berasal dari ‘luar negeri’ dan mengabaikan ‘dalam negeri’. Hal ini diperparah lagi, tidak adanya support penuh dari pemerintah terkait literasi serta peningkatan bahasa daerah. Imbasnya, generasi sekarang kesulitan membaca ‘teks’ ha na ca ra ka, yang berujung ketidakfahaman akan makna.  Selanjutnya, manuskrip hanya disimpan sebagai jimat belaka.

Keengganan atau ketidaktertarikan generasi sekarang akan bahasa sendiri, ini disebabkan minimnya sosialisasi pemerintah dalam menggalakkan peningkatan bahasa doeloe kala atau yang lebih dikenal aksara Jawa ha na ca ra ka kepada anak-anak muda. Mengemas aksara Jawa itu perlu strategi agar mudah diterima, diantaranya adalah Gaul Aksoro Jowo. Sehingga mereka tidak gagap beraksara Jawa dibandingkan dengan berbahasa asing. Coba kita perhatikan minat bahasa Inggris sangat tinggi, bahkan ada kampungnya di Pare daripada aksara Jawa sendiri.

Fenomena ini tidak serta merta terjadi begitu saja, akan tetapi ada semacam kegagalan dalam menjaga atau merawat peninggalan nenek moyang yang hanya dimaknai sebagai jimat belaka. Oleh karena itulah, tepat apabila Nahdlatul Ulama memegang teguh prinsip ‘Muhafadzoh Alal qadim Assholih Wal Akhdzu bil Jadid Al Aslah’ (Merawat atau menjaga sesuatu yang lama yang masih baik, serta mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik).

Prestasi menjaga tradisi bahasa lama, yang ditorehkan oleh pesantren terbilang cukup bagus meskipun belum maksimal. Bahasa kitab sejatinya bersifat komunitas santri, seperti kalimat utawi iki iku yang tetap eksis hingga sekarang, karena santri dituntut untuk mempelajarinya. Alangkah lengkapnya bilamana di pesantren ada pendalaman bahasa kuno atau sansekerta.

Walhasil, memperbincangkan dunia buku tidak cukup di hari peringatannya saja dengan mengisahkan buku yang pernah kita baca atau tulis, bedah buku serta seminar. Akan tetapi harus disertai peningkatan minat baca dan menulis mulai hulu hingga hilir di seluruh pelosok. Lebih-lebih pengenalan, pendalaman buku-buku kuno peninggalan sejarah bangsa. Khususnya untuk generasi muda. Dengan demikian, ‘jimat’ tersebut benar-benar terawat dengan apik. (*)

*Sekretaris PW Lembaga Ta’lif Wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTN NU) Jawa Timur, Pengajar STAIBA Purwoasri, Kediri.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry