– Ketua Harian Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN), H Tjetjep Mohammad Yasien, SH, MH. (ft/mky)

SURABAYA | duta.co – Ketua Harian Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN), H Tjetjep Mohammad Yasien, SH, MH, merasa heran dengan kasus pidana yang menimpa Edy Mulyadi, wartawan senior yang mengkritik kebijakan pemerintah terkait lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN) di wilayah Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur sebagai ‘tempat jin buang anak’.

“Istilah ‘tempat jin buang anak’ ini, sudah jamak, umum. Bahkan sudah dipakai oleh penulis buku ‘PROFIL DAERAH, KABUPATEN DAN KOTA’ terbitan KOMPAS pada tahun 2003. Kasusnya, sama. Kalau Bang Edy mengkritik lokasi IKN, buku Kompas itu cerita tentang wilayah Jantho, yang diproyeksikan menjadi ibu kota Aceh Besar. Jantho saat itu, juga disebut sebagai ‘tempat jin buang anak’,” jelas Gus Yasien panggilan akrabnya sambil menyodorkan buku tersebut, Senin (8/8/2022).

Karena itu, jelas alumni PP Tebuireng ini, aparat penegak hukum harus memahami teks serta konteks kritik yang disampaikan Edy Mulyadi. Terlebih memahami, bahwa, kalimat ‘tempat jin buang anak’ itu sudah menjadi rahasia umum. “Terus terang, dalam pandangan saya kasus yang menimpa dia (Edy Mulyadi red.) sangat aneh. Saya melihat ini lebih kriminalisasi,” terangnya.

Seperti diberitakan, Selasa (9/8/22) besok adalah sidang ke-20. Edy dijerat kasus dugaan ujaran kebencian bermuatan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) karena menyebut lokasi ibu kota baru di wilayah Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur sebagai tempat jin buang anak.

Ia dijerat Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang ITE yang menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA. Edy juga dikenakan dengan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Perhimpunan Hukum Pidana, jo Pasal 156 KUHP.

Pasal ini, menurut Gus Yasien, pasal-pasal itu sangat mereka paksanakan, hanya untuk memenuhi kelompok tertentu. “Sementara, mereka kurang baca literatur. Tidak ada ujaran kebencian. Itu istilah umum, istilah yang wajar kita gunakan. Nanti saya akan bawa bukunya sebagai bukti di pengadilan. Biar tidak menjadi sidang dagelan,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry