SIDOARJO | duta.co – Selama ini, pemerintah cuma sibuk mencegah stunting  pertumbuhan fisik. Masalah (fisik) gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang, sehingga mengakibatkan terganggunya pertumbuhan pada anak.

“Padahal stunting rohani tak kalah gawat. Hari ini, pertumbuhan kerohanian anak-anak kita cenderung rusak. Kita baru saja melihat anak pejabat pamer kekayaan, pamer kendaraan, pamer kemewahan,”  demikian Ustad Didik Fanani SPdI, MPdI kepada duta.co usai taushiyah di depan ratusan wakli santri TPQ Al-Ikhlas, GPSI, Sidorejo, Krian, Minggu (12/3/23).

Menurut Didik, pertumbuhan rohani anak-anak kita, sekarang tak kalah mengerikan. Artinya ada ‘Stunting Rohani’. Mereka tidak punya peduli sesama. Tidak mikir dari mana duit mereka dapat. “Kasus Mario pamer mobil Robicon, itu fakta tak terbantahkan,” jelasnya.

Di sisi lain, ia menemui semakin  banyak anak-anak kita yang tidak paham bagaimana caranya berbakti kepada orangtua. Termasuk ketika orangtua sudah meninggal, alias mati. “Saya menemui, ada anak tidak mengerti tata cara ziarah kubur, tidak paham bagaimana cara mendoakan orang tua yang sudah mati,” tegasnya.

“Datang sih, datang ke makam. Tetapi, bekalnya ‘sapu kerik’ (lidi). Makam orangtuanya disapu bersih. Setelah selesai, dia berdiri. Apa yang dilakukan? Ternyata cium jauh. Sebagaimana yang selalu orangtua ajarkan dulu. Allah Ya Karim, apa tidak menangis yang ada dalam kuburan,” terangnya.

Tahapan Belajar

Menurut Didik, belajar agama itu juga butuh banyak hal, sebagaimana dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim. Sedikitnya, ada 5 (lima) hal yang harus kita persiapkan. Apa saja? “Pertama, butuh kecerdasan. Dan kecerdasan setiap anak, itu tidak sama. Karenanya, membutuhkan tenaga pengajar yang taletan dan ulet,” tegasnya.

Kedua, perlu sungguh-sungguh. “Ada anak yang bersungguh-sungguh, ada juga anak yang menganggap mengaji itu seperti bermain. Begitu datang, tasnya di taruh, lalu lari-lari. Ini kondisi anak kita,” tegasnya.

Ketiga, butuh kesabaran.Tidak semua santri memiliki kesamaan fikiran, bisa langsung mahir dan cekatan dalam mempelajari sesuatu. Ironisnya, kalau urusan mengaji, kadang wali santrinya tidak tahu, anaknya sudah jilid berapa? Ini namanya kelewat sabar,” terangnya.

Keempat, butuh biaya. “Bukan jual-beli ilmu. Tetapi, proses belajar ini butuh sarana prasarana. Kadang ada anak datang cuma bawa tas, isinya kosong. Tidak ada alat tulis tidak ada buku. Lalu, untuk apa? Dan biaya yang kita keluarkan, itu akan kita petik di kemudian hari. Tidak ada yang hilang. ” tegasnya.

Kelima, perlu guru. “Seseorang membutuhkan bimbingan guru untuk mendapatkan ilmu, baik ilmu akhirat maupun dunia. Oleh karenanya, sudah sewajarnya kita memuliakan guru. Doa guru dan doa walisantri itu mustajabah,” pungkasnya.(lu)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry