AKADEMISI : Dr. H. Zainal Arifin SH. MH, Dosen Hukum Media di Fakultas Hukum Uniska Kediri (Irfan Marzuki/duta.co)

KEDIRI|duta.co – Kasus dugaan pemalsuan gelar akademik dilakukan oleh Kades Tarokan, Supadi, kembali menghangat pasca diamankan saat dirinya oleh Satreskrim Polres Kediri Kota, Rabu kemarin. Pemeriksaan pun kini dilakukan tim penyidik setelah sebelumnya dilakukan gelar perkara. Kalangan akademisi memberikan dukungan atas upaya penegakkan hukum ini.

Seperti disampaikan Dr. H. Zainal Arifin SH. MH, Dosen Hukum Media di Fakultas Hukum Universitas Islam Kadiri (Uniska) saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (20/02). “Terkait kasus ini tentang dugaan pemalsuan gelar merupakan delik umum. Polisi berhak melakukan proses penyidikan tanpa harus ada pengaduan. Dalam proses pemeriksaan harus bisa dan benar terbukti, bahwa memang ada penggunaan gelar sarjana. Seperti untuk keperluan melengkapi syarat pencalonan sebagai kepala daerah,” terang Dr. Zainal.

Kemudian, bila benar – benar kasus terbukti juga berpotensi untuk menyeret pihak verifikator dokumen terkait saat pelaku menggunakan untuk pencalonan kepala desa. Selain, saat mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah melalui sejumlah partai. “Jika terbukti ada keterlibatan verifikator dokumen sehingga dalam berkas pelaku ada syarat dokumen pelengkap yang ternyata palsu. Maka bisa saja verifikator tersebut akan diperiksa untuk memastikan kepastian hukum yang akan dijatuhkan kepada pelaku,” jelas dosen yang juga aktif sebagai jurnalis di Kediri.

Tentang tugas verifikator, terang Dr. Zainal, dalam memastikan keabsahan gelar sebenarnya mudah. Cukup via website Dikti https://ijazah.ristekdikti.go.id/ sebagai langkah awal pengecekan. “Selanjutnya bisa dengan verifikasi faktual dengan mendatangi langsung intitusi pendidikan sesuai yang tercantum di ijazah. Seharusnya hal ini bisa memudahkan kinerja verifikator,” imbuhnya.

Jika benar dinyatakan bersalah, masih menurut Dosen Hukum Media, maka Bupati atau pihak terkait yang di atasnya, berhak untuk memberhentikan langsung pelaku dari jabatan yang diembannya saat ini. “Berdasarkan uraian di atas, tindak pidana pemalsuan ijazah dijerat Pasal 263 KUHP yaitu tentang pemalsuan surat ijazah. Dalam rumusan pasal 263 KUHP memang tidak dinyatakan secara eksplisit (tersurat) tetapi secara implisit (tersirat). Lalu pemalsuan ijazah diatur secara khusus dalam Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Dalam pertanggungjawaban pidana mengenai pemalsuan ijazah adalah orang yang membuat atau membantu memberikan dan orang yang menggunakan ijazah palsu tersebut.

Maka dari itu, bila tim penyidik menerapkan asas hukum lex specialis derogat legi generalis, atau peraturan yang khusus mengenyampingkan peraturan yang umum dikarenakan ketentuan di dalam KUHP.  “Dalam undang – undang tercantum pada Pasal 28 ayat 7 dan ketentuan pidana Pasal 93 dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara diatur dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang perguruan tinggi,” jelasnya. (fan/nng)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry