Keterangan foto cnnindonesia.com

SURABAYA | duta.co —  Tim Advokasi Keadilan untuk Novia Widyasari, memberikan apresiasi kepada Polda Jawa Timur, khususnya Bid Propam dan Komisi Kode Etik Polri bentukan Kapolda Jawa Timur, yang menjatuhkan putusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepada Bripda Bagus Hari Sasongko.

Ia terbukti melanggar pasal 7 ayat (1) huruf b dan pasal 11 huruf c Perkap Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Polri. Putusan ini terkait dengan meninggalnya Novia Widyasari di Mojokerto, 2 Desember 2021 lalu. “Tim Advokasi menegaskan akan memantau tindaklanjut dari putusan tersebut hingga akhirnya benar-benar terlaksana,” demikian bunyi rilis tim advokasi, kepada duta.co, Jumat (28/1/22).

Tim advokasisendiri terdiri dari 22 advokat dan konsultan hukum dari Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Ikatan Alumni Universitas Brawijaya (IKA UB) dan Kantor Advokat Ansorul and Partner. Mereka memandang bahwa pemberian sanksi etik ini, menjadi salah satu langkah maju bagi terpenuhinya keadilan, khususnya bagi Novia Widyasari dan keluarganya.

Namun demikian, Tim Advokasi (TA) menyayangkan tindakan petugas Polda Jawa Timur yang melarang Tim Advokasi, sebagai kuasa hukum dari ibu Fauzun (ibunda Novia Widyasari) untuk masuk ke ruang sidang dan mendampingi ibu Fauzun yang dipanggil sebagai saksi dalam sidang.

Karena itu, “Tim Advokasi merekomendasikan kepada Polda Jawa Timur agar dalam pemeriksaan berikutnya dalam perkara yang lain, petugas menghargai dan menghormati kedudukan kuasa hukum untuk memberikan pendampingan dan bantuan hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia yang bersifat universal,” tegasnya.

Terkait penegakan kode etik profesi kepolisian, TA kembali mendorong Polda Jawa Timur melakukan pemeriksaan terhadap tidak adanya tanggapan dan penyelesaian atas laporan yang dilakukan oleh Novia Widyasari ke Propam Polres Pasuruan.

Ubah Persangkaan Pasal

Selanjutnya, selain proses etik profesi yang telah melahirkan putusan PTDH ini, TA mengingatkan Polda Jawa Timur bahwa masih terdapat proses pidana yang harus selesai secara tuntas, adil dan terbuka.

“Kami meyakini bahwa aborsi yang Novia Widyasari adalah aborsi yang ia lakukan tanpa persetujuan Novia, tetapi atas desakan dan bujuk rayu Randy dan keluarganya. Oleh karenanya maka Tim Advokasi mendorong adanya perubahan persangkaaan pasal yang awalnya 348 KUHP yakni aborsi dengan persetujuan berubah menjadi 347 KUHP yakni aborsi tanpa persetujuan,” jelasnya.

TA juga mendorong adanya pendalaman dalam penyidikan guna menelusuri adanya kemungkinan untuk menjerat pihak-pihak lain yang seharusnya turut bertanggungjawab, termasuk kemungkinan pertanggungjawaban orang tua Randy, atas tindakan aborsi paksa Novia hingga berujung kematiannya.

“Kami memandang perlu ada tindaklanjut dan penelusuran atas informasi-informasi penting yang dapat terakses oleh penyidik dari handphone Novia yang saat ini berada di penyidik. Sampai saat ini, Tim Advokasi memandang hal ini belum mereka lakukan, belum adanya pemeriksaan terhadap teman-teman curhat Novia yang banyak berkomunikasi dengan Novia dan menerima informasi (termasuk tangkapan layar pembicaran Novia dengan sejumlah pihak) via chat WhatsApp,” pungkasnya. (mky)