“Setelah geger di SDN Timuran, Kota Yogyakarta, alangkah lebih amannya, tidak menggunakan istilah itu (Kafir) lagi. Jika perlu, diumumkan kepada seluruh PAUD dan TPQ, jangan ada yang memakai model yel-yel seperti itu, ngeri.”
Oleh: Dr Moh Mukhrojin, SPdI, SH, MSi*
TERUS terang, sulit rasanya, memulai tulisan ini. Sesulit membendung perasaan ingin tahu, perihal kontroversi yel yel ‘ISLAM YES, KAFIR NO’ yang terjadi di SDN Timuran, Kota Yogyakarta, Jumat (10/1/2020).
Terus terang, membaca komentar para tokoh, rasanya merinding, takut sekali. Betapa berat kesalahan yang harus dipikul Pembina Pramuka tersebut. Ia disebut mendem, mabuk, bego, bahkan ada usulan agar Kepala Sekolah SDN Timuran, dipecat.
Terus terang, mau cerita tentang gegap gempitanya ‘Tepuk Anak Sholeh’ juga takut. Karena dalam ‘Tepuk Anak Sholeh’ itu, kadang ada yang menggunakan kalimat: ‘Islam, Islam, Yes! Kafir, Kafir, No!’. Dulu, sekali lagi, dulu, yel yel seperti itu terdengar di sejumlah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Pendidikan Alquran (TPQ). Tidak semua, memang. Tetapi, sebagai guru ngaji, dulu, saya pernah mendengarnya.
Terus terang, ini, dulu. Ketika mengajar anak-anak, ketika siswa-siswi berbaris rapi di depan kelas, sebelum masuk, anak-anak diajak membaca doa, diakhiri dengan yel yel tersebut. Macam-macam kalimatnya, sesuai dengan kreatifitas ustadz-ustadzahnya.
Terus terang, saya sendiri tidak tahu, siapa yang memulai dan mengarang yel yel tersebut. Menurut saya, guru-guru PAUD dan TPQ itu, sangat kreatif. Mereka mengawalinya dengan mengartikan isi doa: “Rodhitubillahi Robba, Wabil Islami Dina, Wabi Muhammadin Nabi Wa Rosula”. Artinya, Aku Ridho Allah Tuhanku dan Islam Agamaku, dan Nabi Muhammad UtusanNya. Setelah itu, ada yang menggunakan yel yel ‘Islam, Islam, Yes! Kafir, Kafir, No!’.
Terus terang, saya juga tidak tahu, apa maksudnya. Cuma ada semacam pemahaman, supaya anak-anak rajin ngaji, cinta Islam sampai mati, menolak (menjadi) kafir sejak dini.
Bukan untuk mengkafirkan orang lain, apalagi membangun sikap intoleran. Bunyinya macam-macam, tetapi yang saya ingat, ada yang begini:
Tepuk Anak Sholeh..
Prok.. prok.. prok..!! Aku, anak sholeh
Prok..prok..prok..!! Rajin sholat rajin ngaji
Prok..prok…prok..!! Cinta Islam sampai mati
Prok..prok..prok..!! Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah
Islam, Islam Yes! Kafir, Kafir No!
Ya! Itu dulu. Kini, setelah ribut yel yel ‘ISLAM YES, KAFIR NO’ di SDN Timuran, Kota Yogyakarta, patut rasanya menjadi renungan bersama. Mencermati kekhawatiran para tokoh, tampaknya, picunya ada di kata ‘Kafir’. Ini yang menjadi sorotan publik, sehingga muncul perbedaan persepsi dari para tokoh tersebut.
Definisi ‘Kafir’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk konteks Indonesia dengan ideologi Pancasila dan masyarakat yang plural, tentu, tidak relevan. Mengingat KBBI adalah rujukan seluruh Warga Negara Indonesia untuk mengartikan sebuah kata.
Padahal, seperti kita tahu, bangsa Indonesia mengakui enam agama. Tetapi, faktanya, dalam KBBI tersebut mengacu pada pemahaman satu agama saja. Sementara, dalam Agama Islam sendiri, kata ‘Kafir’ berasal dari Bahasa Arab, Kufur artinya ingkar, menolak atau menutup. Bisa juga menyembunyikan sesuatu, atau menyembunyikan kebaikan yang telah diterima atau mengingkari kebenaran.
Dalam bahasa Inggris, kata kaver tertulis ‘cover’ yang artinya penutup (sampul), seperti Cover Buku, artinya penutup buku atau sampul buku. Nah, bisa jadi Kafer dalam bahasa Inggris, juga menutup ‘kebenaran’.
Memang, para kiai kampung, guru ngaji agama saya dulu, ketika mengajar pada muridnya sering menggunakan kata ‘Kafir’. Ini ditujukan untuk menyebutkan golongan atau individu yang mengingkari ajaran Allah dan RasulNya.
Dan, menurut saya, sebutan ini bukan hinaan, karena memang kata ini ada dalam Alquran, dan digunakan untuk menyebut orang orang yang ingkar pada ajaran agama. Namun bisa jadi, kata ‘Kafir’ ini menimbulkan masalah, ketika digunakan untuk menghina dengan merendahkan individu atau golongan lain.
Setahu saya, baik muslim maupun non-muslim dapat dikatakan ‘Kafir’ ketika ia mengingkari ajarannya. Jadi, artinya tidak salah, namun mindset masyarakatnya, keliru, telanjur sakit, karena kata ini digunakan untuk menghina kelompok lain.
Kembali pada yel yel anak PAUD dan TPQ tadi, tentu, para gurunya ingin menumbuhkan generasi muslim yang kuat, tertanam imannya sejak dini. Metode tepuk tangan, dengan riang gembira, dinilai sebagai pembelajaran yang komunikatif, sekaligus menjadi penyemangat dalam belajar anak usia dini.
Toh buktinya, selama ini mereka tumbuh kembang menjadi muslim yang baik, toleran, menghargai seluruh makhluq Allah, menghormati dan menyayangi teman seagama dan, agama lainya. Tidak hanya sesama manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan pun, disayang.
Baru, kalau mereka mengatakan selain Islam, semua salah. Selain Muhammadiyah, semua salah. Selain NU, semua salah. Selain saya, semua salah. Ini intoleran. Tetapi, kalau yel yel ‘ISLAM YES, KAFIR NO’ selama disampaikan dalam proses belajar, internal, untuk meneguhkan iman, rasanya, kok sah-sah saja. Yang salah, kalau kita viralkan.
Meski begitu, setelah geger di SDN Timuran, Kota Yogyakarta, alangkah baiknya, tidak perlu menggunakan istilah itu lagi. Jika perlu, diumumkan kepada seluruh PAUD dan TPQ, jangan ada yang memakai model yel-yel seperti itu, ngeri.
Saya yakin, bagi ustadz dan ustadzah dengan mudah untuk membuat ‘Tepuk Tangan Anak Sholeh’ tanpa memakai kata ‘Karif’. Setuju? Waallahu’alam. (*)
*Dr Moh Mukhrojin, SPdI, SH, MSi adalah Pengasuh Pondok Pesantren Bismar Almustaqim Surabaya.