Drs Arukat Djaswadi, salah satu pendiri GERAK. (FT/IST)

SURABAYA | duta.co – Perlu klarifikasi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Menkumham RI): Benarkah tidak boleh menggunakan kalimat atau kata ‘Anti Komunis’ setiap pengajuan lembaga berbadan hukum?

“Pengajuan GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) untuk memperoleh status badan hukum, ditolak. Alasannya ada kalimat ‘Anti Komunis’. Akhirnya jadi GERATAS (Gerakan Rakyat Anti Atheis). Ini perlu klarifikasi ke Kemenkumham, benarkah, kok bisa?” demikian disampaikan Drs Arukat Djaswadi, salah satu pendiri GERAK kepada duta.co, Jumat (4/12/2020).

Menurut Arukat, kalau itu benar, maka, gerakan membangkitkan kembali komunis, semakin sistematis. Sampai lembaga negara melarang Anti Komunis. Sementara, fakta di lapangan, regulasi pelarangan paham komunis, semakin hari semakin mandul, terabaikan.

“Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara, sudah mandul. Sekarang, orang atau lembaga politik bebas berhubungan dengan lembaga lain (di luar negeri) yang berasaskan komunis,” tegas Arukat yang sejak belajar di bangku SMP sudah membuntuti gerakan PKI ini.

Ia kemudian menyebut Pasal 107 e UU 27 Tahun 1999. Bunyinya: “Pidana penjara paling lama 15 tahun dijatuhkan untuk mereka yang mendirikan organisasi yang diketahui atau diduga menganut ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya; mereka yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun luar negeri, yang berasaskan komunisme/marxisme-leninisme atau dalam segala bentuknya, dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintah yang sah.”

Masih menurut Arukat, kalau penggunaan kalimat ‘Anti Komunis’ untuk menjadi lembaga berbadan hukum sudah dilarang, itu sama saja membiarkan komunis bangkit. Kalau benar lembaga negara terlibat, itu sudah sistematis, semakin berbahaya.

“Kita tidak boleh diam. Saya akan tanyakan ke Kemenkumham, apa benar begitu? Sekarang kita ikuti saja, kita ubah nama GERAK menjadi GERATAS, tetapi pemerintah harus menjelaskan apa reasoning-nya,” jelas Ketua Center for Indonesian Community Studies (CICS) ini.

Cermati Terbitnya SKKPH

Fakta yang tidak bisa disepelekan terkait kebangkitan komunis di Indonesia, menurut Arukat adalah terbitnya Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPH) untuk keluarga PKI. “SKKPH ini dikeluarkan Komnas HAM (lembaga tinggi negara), yang mengajukan orang PKI secara pribadi-pribadi. Surat ini kemudian dibawa ke LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) akhirnya mereka mendapat perlindungan,” jelasnya.

Berapa orang PKI yang sudah mendapatkan SKKPH? “Pengakuan Bedjo Untung (ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/YPKP 65), sampai hari ini itu sudah 3.000-an. Tapi versi lain, tidak sampai segitu,” katanya.

Yang jelas, lanjutnya, Jawa Timur sedang menjadi target Bedjo Untung dan kawan-kawan untuk membangkitkan kembali PKI. “Jatim itu paling kecil jumlah orang yang mendapatkan SKKPH. Mengapa? Karena mereka tidak mau,” katanya sambil memastikan bahwa keluarga PKI terus bergerak untuk mendapatkan legitimasi pemerintah.

Puncaknya, demikian analisa Arukat, pemerintah mengakui bahwa mereka adalah korban (lewat penerbitan SKKPH). Caranya? “Melalui SKKPH yang diterbitkan Komnas HAM, ini sudah cukup bagi pemerintah untuk minta maaf kepada PKI. Kalau ini yang terjadi, maka, komunis benar-benar bangkit di negeri ini,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry