SURABAYA | duta.co – Soetanto Soepiadhy, kembali berkarya lewat tulisan, bunga rampai “Agen Kebudayaan: Cermin Yang Tak Pernah Buram”. Bunga rampai ini terdiri ada empat bab, yakni kebudayaan, kreativitas, norma hukum, dan daulat rakyat.

“Pembaca yang menyimak semua bab lengkap dengan sub-sub babnya pasti akan terlibat dalam proses dulce et utileDulce adalah “rasa senang”, et adalah “dan,” sementara itu, utile adalah ”manfaat.” Bukan hanya rasa senang yang akan pembaca peroleh, akan tetapi juga, dan inilah yang lebih penting, yaitu manfaat,” kata Prof Dr Budi Darma MA, yang memberikan kata pengantar di buku ini.

Semua bab dalam buku ini lanjut Budi Darma, bukanlah karya instant, tetapi karya yang dituangkan setelah melalui pertimbangan yang mendalam. Buku ini diawali dengan kesamaan pandangan antara dua pemikir hebat, yaitu Platon, kelahiran Athena pada tahun 428 Sebelum Masehi, dan Sir Thomas More, kelahiran London pada tahun 1478 Masehi. Platon adalah filsuf, demikian pula Sir Thomas More. Kedua filsuf ini memimpikan masyarakat yang ideal, yaitu masyarakat utopis dengan cara pandang berbeda.

Platon berbicara mengenai kemiskinan dan kelaparan, Sir Thomas More menekankan pada rasa aman tanpa kejahatan, sementara semua kebutuhan manusia selalu tersedia. Masalah agama bagi mereka juga sama, dengan catatan, agama pada jaman Platon tentu saja berbeda dengan agama pada jaman Sir Thomas More.

Dalam buku ini pembaca melihat, ada ketegangan antara utopianisme Platon dan Sir Thomas More di satu pihak, dan dystopia di lain pihak. Ketegangan ini juga terjadi antara seni tradisi, termasuk seni lokal seperti misalnya ludruk, melawan seni modern. Pendukung seni tradisi meyakini bahwa seni tradisi memiliki nilai-nilai adiluhung, sementara pendukung seni modern meyakini, bahwa dinamika kehidupan mau tidak mau harus menyerap nilai-nilai modernitas global. Dengan demikian, seolah-olah ada dikotomi tajam antara seni tradisi dan seni modern, dan karena itu timbullah pandangan adanya oposisi biner, seperti misalnya kuat lawan lemah, siang lawan malam, putih lawan hitam, dan seterusnya.

Tengoklah, misalnya, ludruk karya Meimura Guruku Tersayang dan berbagai drama modern Asrul Sani: ada unsur modernisme dalam karya Meimura, ada pula unsur tadisional dalam drama-drama

Asrul Sani. Bukan hanya itu. Tanpa disadari, seni jalanan di Paris juga mempunyai unsur-unsur ludruk. Sementara itu kita tahu, berbagai bangsa Eropa, termasuk Perancis, pernah meneliti kebundyaan Indonesia, termasuk ludruk.

Dalam buku ini ada juga bahasan mengenai novel Muhammad Ali Ibu Kita Raminten, disandingkan dengan teater monolog Tjoet Nyak Dhien oleh Sha Ine Febriyanti, dan pameran lukisan Wododo Basuki, Pathet. Kritikus sastra terkemuka H.B. Jassin pernah menjuluki Muhammad Ali sebagai “pengarang lapar,” antara lain karena Muhammad Ali pernah menulis sandiwara radio berjudul Lapar.

“Sementara itu, teater monolog Tjoet Nyak Dhien dalam buku ini diulas dengan baik, dan karena itu pembaca dapat menghayati kehidupan Tjoet Nyak Dhien sebagai tokoh penting dalam usahanya untuk mempertahankan Tanah Aceh dari cengkeraman Belanda. Setiap pejuang pasti dikuntit oleh pengkhianat, demikian pula Tjoet Nyak Dhien,” ungkap Budi.

Soetanto Soepiadhy ungkap Budi, kreativitas bisa berkelindan dengan innovasi, dan innovasi, dalam dunia industri, bisa berkelindan juga dengan hukum. Tiga faktor yang berkelindan itu diakselerasi oleh komputer.

“Tengoklah, misalnya, Kusrin dan innovasinya dalam menciptakan pesawat televisi. Semua orang tahu, pesawat televisi adalah produk massal pabrik, bukan produk tangan atau manual. Kusrin, yang pendidikannya hanya sampai tingkat SD saja, ternyata dengan piawai mampu membuat pesawat televisi rakitan. Sebagai orang tamatan SD dan buta hukum, kehidupan Kusrin pun berantakan. Semua produknya disita, dan dia pun diberi ganjaran masuk penjara selama 1,6 tahun,” tegasnya.

Bukan hanya itu. Dalam usahanya untuk memelopori industri mobil listrik di Indonesia, Dasep Ahmadi akhirnya juga tertimpa nasib buruk: dia dianggap sebagai koruptor, dan karena itu, sebagaimana halnya Kusrin, dia pun ditendang ke penjara. Karena itu, bukan hanya hukum yang perlu dipertimbangkan kembali, tetapi juga mental polisi, jaksa, hakim.

Inilah kegunaan Sosiologi Hukum, sebagaimana yang berkali-kali dikemukakan oleh Prof Satjipto Rahardjo. Karena jaman terus berkembang, mau tidak mau Indonesia harus mengikuti perkembangan jaman, yaitu ikut masuk ke Era Revolusi 0.4. Inti Revolusi 0.4 adalah pengembangan kepintaran buatan, misalya robot, pesawat tanpa awak, cyborg, dan lain-lain yang sebetulnya sudah ada, tapi perlu dijadikan lebih canggih dan lebih praktis.

“Profesi yang sekarang ada mungkin pada suatu saat nanti berguguran karena keahlian mereka bisa diganti dengan mesin otak buatan. Dan ini sulit, karena itu Indonesia dalam waktu singkat harus memiliki ribuan pakar teknologi tingkat tinggi,” urainya.

Lalu, apakah kiranya makna judul ciptaan Soetanto Soepiadhy, “Agen Kebudayaan: Cermin Yang Tak Pernah Buram”? Sekali lagi, kehidupan tidak akan pernah lepas dari ketegangan. Ada pemikir yang balik misalnya Platon dan Sir Thomas More, ada pula pemikir yang mengajarkan kekejian demi kekuasaan, seperti yang tampak dalam ajaran Machiavelli dalam karya fenomenal, The Prince.

“Para agen kebudayaan atau penggerak kebudayaan bisa memilih, tentunya diharapkan untuk memilih yang baik dan bijaksana. Dinamika kreativitas terus berlanjut, dan alih generasi juga terus berlanjut,” tandasnya. rum

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry