Oleh: Kartika Putri Kumalasari

Selama satu dekade penerimaan pajak di Indonesia selalu tidak bisa memenuhi target penerimaan pajak. Salah satu alasannya adalah karena adanya Wajib Badan yang terus melapor rugi namun tetap beroperasi atau mengembangkan usaha sampai dengan usahanya di Indonesia. Apabila dilihat dari trend pelaporan perusahaan dalam keadaan rugi dimulai dari tahun 2016 hingga 2019 dengan total jumlah di akhir sebesar 9.496 Wajib Pajak. Hal ini dikarenakan wajib pajak badan menggunakan skema penghindaran pajak, sementara disisi lain Indonesia belum memiliki instrument penghindaran pajak yang komprehensif. Saat ini penghindaran pajak global bahwa 60-80% perdagangan dunia memiliki transaksi afiliasi yang dilakukan multinasional. Dalam hal ini Indonesia berada pada tingkatan 37-42% dari PDB yang dilaporkan sebagai transaksi afiliasi dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak oleh Wajib Pajak. Tax Justice Network memperkirakan bahwa sekitar USD 21 Triliyun  – USD 32 Triliyun kekayaan global disembunyikan di luar yurisdiksi. Penggelapan pajak keluar negeri (offshore tax evasion) atau penyelendupan pajak atas harta atau penghasilan yang diparkir  di luar negeri. Bagi, banyak negara pihak-pihak yang memiliki kemampuan untuk menyimpan dananya di luar negeri dengan motif pajak adalah pihak yang memilki kapasitas keuagangan besar, Artinya potensi penerimaan juga relative besar. Hasil kajian dari OECD terdapat potensi penggerusan basis pajak dan pergeseran laba diperkirakan USD 100-240 Miliar per tahun atau setara dengan 4-10% penerimaan global, sehingga sudah selayaknya Indonesia memerlukan instrument yang dapat menyangkal penghindaran pajak global seperti General Anti Avoidance Rule dan Alternative Minimum Tax ( Pajak Penghasilan Minimum).

Pertanyaanya saat ini adalah mengapa Alternative Minimum Tax? Karena dapat melindungi basis pajak terutama di negara berkembang karena menggunakan dasar pengenaan pajak alternative ( Alternative tax Base) yang lebih sulit untuk dimanipulasi melalui perencanaan pajak yang agresif ( aggressive tax planning). Coelho dalam DDTC (2021); Silva (2016); Stack (2016) menjelaskan bahwa dampak dari diberlakukannya AMT atau PPh Minimum dapat menurunkan perencanaan pajak yang agresif sehingga dapat mendorong keberhasilan dalam peningkatan pelaporan laba usaha terutama pada era globalisasi. Maka, AMT mengurangi insentif WP Badan untuk melaporkan underreporting laba usaha untuk tujuan pajak. Contoh perencanaan pajak yang agresif adalah kasus transfer pricing, hingga adanya biaya bunga yang besar (earning stripping). Dalam penggunaan presumptive tax Indonesia berwacana menggunakan metode AMT yang menjadikan omzet sebagai basis pajak. Desain ini paling banyak diterapkan berbagai negara.

Di Indonesia pengaturan mengenai AMT diatur dalam Rancangan Undang-Undang KUP pada pasal 31 F dimana penjelasan dari ayat 1 dan 2 adalah WP Badan dikenai pajak PPh Minimum karena karena PPh terutang berdasarkan Pasal 17 lebih kecil dari 1% atas penghasilan bruto. Kesimpulan dari Pajak Penghasilan Minimum PPh Minumum  tidak bersifat menguji atau menelusuri secara detail transaksi-transaksi yang ditenggarai memiliki risiko base erosion and profit shifting (BEPS). Namun, memiliki peran dalam menjamin untuk setidaknya setiap korporasi membayar ‘suatu nilai minimum pajak’ kepada negara atau sebagai safeguard. PPh minimum merupakan alat pencegahan penggerusan basis pajak, maka PPh minimum tidak bersifat opsional. PPh minimum justru rezim yang pararel dengan sistem PPh yang berlaku secara umum. Dengan kata lain, nilai pajak terutang WP badan akan tetap dihitung baik dengan menggunakan rezim PPh Badan normal maupun AMT. Jika nilai pajak terutang dari rezim normal PPh Badan lebih tinggi dari hasil perhitungan rezim AMT, maka otoritas pajak menggunakan nilai pajak terutang dari rezim normal. Hal ini pun berlaku sebaliknya. Untuk menjamin keadilan dan mencegah pemajakan yang excessive, rezim PPh Minimum memperbolehkan adanya klausul carry over. Artinya, selisih pembayaran pajak rezim PPh Minimum dengan rezim normal dapat dijadikan pengurang pajak terutang dalam situasi perhitungan pajak dengan mekanisme normal di periode setelahnya.

Konsekuensi dari implementasi Pajak Penghasilan Minimum adalah karena adanya jaminan pembayaran pajak dari setiap WP, namun juga bisa menjadi kontraproduktif, karena bisa jadi mendorong WP Badan untuk mengkalkulasi ulang manfaat dan biaya jika investasi di Indonesia dan dibandingkan dengan negara lain. Kebijakan insentif pajak juga menjadi kurang efektif dengan adanya kebijakan PPh minimum karena insentif pajak bisa tidak berlaku atau aturannya bertabrakan. Adanya PPh minimum ini juga bisa membuat adanya kredit pajak dari penghasilan yang diperoleh dari luar yurisdiksi tidak berpengaruh karena adanya kewajiban minimum pembayaran pajak. Akibatnya, investor ( perusahan MNE) juga akan berpikir ulang mengenai rencana investasinya. Sehingga kebijakan PPh minimum juga harus dikaji secara dinamis,karena beban pajak tiap negara beda antar waktu adanya kompetisi pajak, baik yang penurunan tarif maupun yang insentif pajak.

Sehingga AMT merupakan peluang bagi pengamanan basis penerimaan pajak Indonesia karena selain bisa mudah dalam administrasi pajak dan kepatuhan, disisi lain dapat mengamankan penerimaan pajak yang selama ini hilang. Apabila nanti kebijakan diimplementasikan maka diperlukan adanya Aturan main yang jelas antara PPh minimum dengan fasilitas PPh karena ada yang bersinggunga langsung dengan Modal Asing, Ruang Lingkup pengenaan Pajak Penghasilan Minimum, Sosialisasi, Pengawasan Pelaksanaan dari PPh Minimum supaya tetap menjaga marwah pajak yang kesederhanaan, keadilan, dan ekonomi. Hal tersebut diperlukan karena AMT akan menjadi pintu masuk awal bagi Indonesia untuk menerapkan GAAR  dan SAAR yang memiliki tujuan untuk mengurangi penggerusan basis pajak.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry