FT/guardian.ng

Oleh: Bahroin Budiya, S.Pd.I., M.Pd.I*

SALAH satu problematik dalam dunia pendidikan yang lagi gempar-gemparnya saat ini adalah bullying. Bullying berarti suatu aksi atau serangkaian aksi negatif yang seringkali agresif dan manipulatif, dilakukan oleh satu atau lebih orang terhadap orang lain atau beberapa orang selama kurun waktu tertentu, bermuatan kekerasan, dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan. Bullying berbentuk verbal, fisik, sosial, cyber-bullying (perundungan di dunia maya) dan seksual. Pasalnya, kasus ini muncul karena banyak faktor yang melatarbelakangi, di antaranya pergaulan yang terlepas dari pengawasan orangtua dan guru,  menonton televisi atau YouTube yang menyuguhkan adegan kekerasan sebagai pemicu untuk mencontohkan, mendemonstrasikan dan mengilustrasikan kepada pihak pelaku untuk menindas korbannya dan masih banyak faktor lainnya. Pada esensinya, hal tersebut membutuhkan penelusuran akar konflik secara kongkret mengapa sampai menyebabkan pelaku tega melakukan tindakan yang melanggar hukum. Persoalannya efek negatif dari kasus itu membuat korban menjadi trauma, mengalami gangguan psikis dan lebih fatalnya lagi dapat menghilangkan nyawa korban

Masyarakat, khususnya para orangtua, merasa resah dengan peristiwa yang terjadi di sekolah-sekolah, berharap putra-putri mereka jauh dari teman yang memiliki potensi berbuat bullying, akankah insiden tersebut terus berkelanjutan? Menghantui para siswa yang lain dan mengacaukan konsentrasi proses belajar mengajar (PBM) di dalam dunia pendidikan? Tentu saja hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, tentu saja konflik semacam ini oleh pemerintah sudah diatur di dalam undang-undang Pasal 54 UU 35/2014 yang berbunyi:

(1)  Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

(2)  Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.

Jadi, anak-anak di dalam dunianya wajib dilindungi apabila didapati persoalan yang mengancam masa depannya. Lantas, bagaimana upaya perlindungan itu agar dapat menjaga kestabilan dan mobilitas siswa-siswa dalam dunia pendidikan yang wajib ditempuh oleh mereka tanpa ada gangguan. Konsep pendidikan informal yang oleh penulis harus mendapatkan perhatian penuh, karenanya, dalam mengonstruksikan pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakatlah harus ada pembenahan di dalam mendidik siswa, siapa lagi kalau bukan orangtua dan masyarakat terdekatnya.  Di waktu anak menginjak fase mendengar dan memahami ujaran dari orangtuanya yang dulunya masih belajar merangkak, berjalan dan berlari, saat anak mengalami jatuh, terbentur tembok, tersandung, terpeleset. Umumnya yang kita jumpai orangtua menenangkan anak mereka dengan cara yang kurang tepat, yaitu dengan selalu menyalahkan obyek-obyek di sekelilingnya sebagai akibat anak jatuh, memang demikian itu bisa membuat anak merasa tenang, terjaga dan merasa aman di sisi mereka sebagai orangtua, secara sadar atau tidak,  pendidikan informal semacam itu akan membimbing dan  mengarahkan anak untuk menyalahkan obyek-obyek di sekitarnya sehingga ketika menginjak fase dewasa memungkinkan anak dalam mindset mereka terkonstruk dengan sendirinya menyalahkan,  membenci bahkan bisa melukai teman lainnya yang ia berasumsi bahwa temannya pantas diberi pelajaran.

Pendidikan di lingkungan informal membutuhkan banyak pertimbangan dan langkah tepat untuk masa tumbuh dan kembang siswa sebelum mereka melalui jalur pendidikan formal dan non formal. Agar nantinya kasus semacam bullying tidak menjalar ke berbagai instansi pendidikan dan lainnya dan siswa merasa aman, nyaman, tenang dan menikmati progres belajar mereka.

* Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Malang

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry