SURABAYA | duta.co  – Sidang dugaan perbuatan asusila dengan terdakwa Moch Subechi Azal Tsani (MSAT) masuk agenda keterangan saksi ahli. Prof Dr Suparji Ahmad, Ahli Pidana Universitas Al Azhar Indonesia, memberikan keterangannya di Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa (27/9).

Ditemui usai sidang, Suparji mengatakan bahwa dalam tiga pasal yang dijeratkan pada terdakwa MSAT, yakni pasal 285, pasal 289, dan pasal 294 KUHP, perbuatan Mas Bechi dianggap tidak memenuhi unsur-unsur perbuatannya.

Ketua Senat Akademik Universitas Al Azhar Indonesia di Jakarta ini mencontohkan, dalam pasal 285 KUHP diakuinya harus ada perbuatan berupa mengancam, atau unsur kekerasan lainnya. Hal ini, diakuinya, berbanding terbalik jika dilihat dari kronologis dalam dakwaan.

“Harus ada perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa itu, mengancam, atau ada unsur kekerasan. Jadi kalau lihat dari kronologisnya kan tidak ada tindakan yang berupa kekerasan atau kemudian ancaman kekerasan untuk dilakukan persetubuhan atau tidak pidana pencabulan,” tegasnya.

Ia menjelaskan, mengapa dirinya mengatakan hal itu, karena dari bukti-bukti yang ada tidak ada tindakan-tindakan fisik seperti memukul pada korban atau, tindakan ancaman lainnya, berupa ancaman jika tak dituruti kemauannya, akan dilakukan kekerasan.

“Jadi kenapa saya mengatakan itu karena dari bukti-bukti yang diungkapkan tidak ada tindakan yang misalnya memukul atau tindakan-tindakan fisik yang dilakukan kepada korban misalnya seperti itu atau tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa dia akan melakukan kekerasan jika dia tidak menuruti kemauannya,” tambahnya.

Ia menyebut, dalam pandangannya secara keilmuan, unsur kekerasan atau ancaman kekerasan itu harus ada tindakan perbuatan yang mengarah pada tindakan fisik.

“Dalam pandangan saya secara teoritis bahwa kekerasan atau ancaman kekerasan itu harus ada tindakan perbuatan-perbuatan yang mengarah pada tindakan fisik. Sehingga korban tadi itu berada dalam situasi takut tercederai atau terancam atau tidak merdeka. Jadi tidak ada itu,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua Tim Pengacara MSAT, Gede Pasek Suardika atau akrab disapa GPS mengatakan, seyogyanya keyakinan hakim tumbuh dari fakta-fakta persidangan, bukan dari hal lain. Dengan dihadirkannya ahli pidana lagi, ia berharap bisa menjadi panduan seluruh pihak beperkara bersama, baik JPU, PH, mau pun hakim.

“Kan ujungnya nanti hakim yang memutuskan,” ujar GPS.

Meski begitu, GPS mengaku sempat gregetan. Dalam sidang, pihaknya bertanya pada ahli tentang cara mengatasi sebuah rekayasa kasus hukum.

“Saya tanya, ada gak mekanismenya? ternyata beliau kesulitan juga menggambarkan itu, karena ini (perkara) kan 1 rangkaian dan ketidaksempurnaan penyidikan bagaimana, nah itu belum ada instrumennya,” tutur GPS.

Oleh karena itu, ia menilai perspektif Suparji dalam perkara ini hampir serupa. Terlebih, dalam validitas pernyataannya terkait visum.

“Artinya, kalau tidak cukup bukti, saksi tidak kuat, dan dakwaannya tidak sesuai fakta memang terungkap semua, terdakwa berhak untuk mendapat keadilan,” katanya.

Terpisah, Jaksa Penuntut Umum Tengku Firdaus mengatakan, pernyataan yang disampaikan ahli pidana dari pihak terdakwa hampir seragam dengan pernyataan ahli pidana dari pihaknya. Kendati, hanya dalam perspektif hukum.

“Keterangan dari ahli pidana, hampir sama (pendapatnya), beliau menyampaikan pendapatnya terkait peristiwa pidana yang terjadi,” tutur dia.

Sementara itu, pengacara korban Nun Sayuti enggan menanggapi keterangan saksi yang disampaikan dalam sidang. “Yang menghadirkan pihak terdakwa. Kami tentu tidak menanggapi apapun statemennya. Terserah mereka mau bicara apa,” ungkapnya.

Dirinya yakin nantinya keputusan hakim sesuai harapan. “Proses persidangan ada korban dan saksi yang menguatkan keterangan korban sudah kami hadirkan semua kami sangat optimis hakim memutuskan sesuai harapan kita,” pungkasnya. Zal

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry