SIDOARJO | duta.co — Sidang gugatan perdata, Nomor 27/Pdt.G/2020/PN SDA, terkait patahnya 61 tiang listrik di Desa Barengkrajan, Kecamatan Krian, milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) di Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo, Kamis (25/6/2020) memasuki babak akhir.

Majelis Hakim yang diketuai Eni Sri Rahayu, SH, MH dengan anggota Martahan Pasaribu, SH, M.Hum dan Erly Soelistiyarini, SH, MHum mendengar dua saksi tambahan yang diajukan PLN. Alih-alih untuk meringankan PLN, kedua saksi itu, justru memberikan keterangan yang mengagetkan.

Pertama, Saksi Bayu Aswin, dibawah sumpah, dia mengatakan, bahwa, tiang yang ambruk di Desa Barengkrajan tidak hanya 61 tiang, tetapi sebanyak 67 tiang. Bayu tidak membantah kalau dikatakan mayoritas tiang, bukan ambruk, tetapi patah.

“Ketika ditanya majelis hakim, dia menjelaskan, bahwa sebagain besar dari 67 tiang itu, mayoritas patah, bukan ambruk dari bawah. Saya mendengar saja sudah ngeri,” demikian disampaikan Taufik Hidayat, Kamis (25/6/2020), kuasa hukum Mokhammad Kaiyis penggugat PLN gegara mobilnya ringsek tertimpa tiang listrik.

Kedua, saksi Suparno, driver PLN. Dia bahkan menjelaskan ada pertemuan di Balai Desa Barengkrajan setelah kejadian tersebut. Sejumlah korban atau yang terdampak dari ambruknya tiang listrik PLN, katanya, sudah mendapatkan tali asih.

Ketika ditanya hakim berapa jumlahnya, Suparno, tidak tahu. Dia hanya melihat amplop coklat. Mejelis hakim semakin penasaran, duit dari mana itu?  “Itu uang dari Yayasan Baitul Mal, tetapi, saya tidak tahu berapa jumlahnya,” jelasnya enteng.

Sudah Memasuki Kesimpulan

Menurut Taufik, Kamis kemarin, juga ada saksi yang dihadirkan PLN, namanya Heriono. Tetapi, karena tidak membawa identitas, lalu, tidak berada di lokasi kejadian, maka, kesaksiannya tidak layak didengar.

“Saudara Heri ini malah lucu. Dia sempat memberikan keterangan bahwa kejadian ambruknya 67 tiang listrik itu, pada bulan Mei 2019. Sudah begitu, ketika peristiwa terjadi, dia tidak di lokasi.  Padahal, yang benar 5 Januari 2020. Melihat saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan, maka, PLN harus bertanggungjawab atas peristiwa ini,” tegas Taufik.

Ketika ditanya bagaimana dengan alasan PLN bahwa, peristiwa itu karena bencana alam? Dengan tegas Taufik menolak. “Ada salah satu saksi dari pihak PLN yang menyebut itu, bencana alam. Langsung ditanya oleh majelis, apa dasarnya menyebut bencana alam? Saksi pun gelagapan. Karena status bencana alam itu harus diumumkan oleh Bupati atau walikota, kalau hanya berpedoman pada surat Badan Penggulangan Bencana Daerah, tidak cukup. Apalagi kalau surat itu dibuat atas permintaan PLN,” tegasnya.

Soal unsur pidana, Taufik Hidayat mengaku tidak tahu. Itu domain aparat penegak hukum. “Gugatan ini murni perdata. Kerugian yang diderita klien kami, tidak kecil. Selain material ada immaterial. Sudah begitu, PLN tidak ada niat baik. Saya yakin mejelis hakim akan memutus perkara ini dengan seadil-adilnya,” tegas Taufik dari LBH ASTRANAWA yang mengabarkan sidang sudah memasuki kesimpulan. (luth)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry